metamorfosa_bintang_utara

semua yang hidup bergerak menuju 1 titik. bahkan yang matipun tidak sebenarnya mati.karena hidup selalu ada didepan dan bukan dibelakang maka merisaukan masa lalu semustahil ingin kembali dilahirkan. tapi siapa tahu ? dalam dimensi yang lain ada saat ketika nanti semuanya menuju pada titik dimana kita berawal. karena pada akhirnya ternyata kita hanya kembali ke tempat kita bermula. coz theres nothing certain but uncertainty

Name:
Location: Ambon, Maluku, Indonesia

just read my pieces of mind

Thursday, November 30, 2006

KITAB MELAWAN LUPA




Adalah seorang Milan Kundera yang teringat ketika saya hendak menulis tentang lupa. Lupa memang seakan telah hampir diidentikan dengan penulis Cheko ini dalam benak saya. Bukan saja karena sastrawan ini hampir pernah dilupakan oleh bangsanya sendiri setelah sekian lama terasingkan, namun lebih karena dia dapat menegaskan prinsip keterlibatan emosional yang sangat kuat mengenai urusan lupa dan melupakan ini lewat bukunya Kitab Melawan Lupa.
Kundera membicarakan lupa dengan sederhana dan sangat jelas sejak dari judul. Tidak hendak berumit-rumit seperti Nietsche yang berpsiko analisis untuk segala sesuatu atau Marx yang berang dengan betapa orang seringkali lupa akan pertentangan dan realitas sejarah Kundera justru menertawakan sisi humanisme dari sikap lupa dan dengan sangat pintar pada saat yang sama mengingatkan kita semua betapa pentingnya mempertahankan kesadaran. Dia menghimbau dengan mulus tanpa hendak merombak dan merekonstruksi apapun. Pendeknya Kundera menengak beberapa gelas tequila sembari menolak untuk mabuk.
Tapi mengapa lupa dan apa pentingnya membahas Kundera saat ini ? jawaban pertanyaan ini tentu saja dapat bertele-tele, akan tetapi penting dikatakan bahwa jawaban pertanyaan ini mungkin harus kembali kita lihat pada realitas yang ada. Melupakan saat ini memang bukanlah hanya urusan manusiawi, persoalan hukum, sosiologis atau juga politik, dalam beberapa pendapat tertentu melupakan [saat ini] bahkan bisa mengakibatkan kacaunya soliditas sebuah bangsa dan untuk itu harus diendapkan. Itulah mengapa melupakan dan lupa menjadi sesuatu yang penting saat ini untuk dibahas.
Betapa pentingnya lupa dan melupakan ini dapat dilihat pada kasus Soeharto juga pada persoalan pembebasan dari hukum para debitor BLBI beberapa waktu yang lalu yang menuai protes kemudian jangan juga lupakan rilis video penyerangan pentagon beberapa hari kemarin oleh otoritas resmi Amerika Serikat pada saat dukungan terhadap perang memerangi terorisme dan kampanye perang ke Irak jatuh pada titik yang sangat rendah. Semua realitas itu seakan hendak mengingatkan kita kembali pada apa yang telah terjadi dibelakang dan agar kita tidak lekas melupakan. Karena melupakan adalah masalah, sekecil apapun efeknya.
Karena itu memang wajar bila kita membahasnya, mencegahnya bahkan berperang dengan lupa itu. Demikianpun bukankah ingatan yang bagus memang prasyarat untuk sukses dimuka bumi saat ini ? sebut saja dunia pendidikan, pasar ekonomi, bidang sosial budaya, pertahanan keamanan dan juga seks, semuanya membutuhkan ingatan yang kuat untuk berhasil dan untuk itu memang tidak ada keraguan. Dari kesimpulan awal inilah sebagai bangsa [Indonesia] kita berangkat untuk bertanya pada diri sendiri terhadap apa yang telah kita lakukan dengan lupa itu ?
Sebagai bangsa memang banyak yang berpendapat bahwa ingatan kolektif kita tidak sangat bagus bahkan cenderung buruk terhadap apa yang telah kita alami. Ada peristiwa pemberontakan PKI yang terjadi dua kali, kerusuhan SARA yang terjadi dua tempat berbeda dengan eskalasi yang sangat tinggi, juga dua zaman rezim birokrasi yang berkuasa sangat lama. Lalu jangan juga lupakan edy tansil, kasus BLBI dan pembobolan BNI dan Bank Mandiri. Semua itu adalah contoh sikap lupa kita yang menimbulkan masalah berulang-ulang.
Persoalan lemahnya pendidikan, kultur psikologis yang feodal paternalistis dan juga mungkin emosi yang meluap namun cepat terpuaskan adalah sekian alasan-alasan yang dapat diketengahkan sebagai sebab kenapa kita masih berada pada bab yang sama dalam buku sejarah. Kita memang mengalami ejakulasi dini ingatan yang akut dan membutuhkan pertolongan yang sangat serius. Maka mungkin benar bahwa mengingat adalah penting sedangkan melupakan adalah laten yang senantiasa harus diawasi.
Kita tentu saja ingin berubah dan memang telah mempersiapkan seperangkat system yang bila perlu dapat mencubit dan menempeleng kita untuk mengingatkan agar kita tidak kelihatan terlampau goblok. Kita menguatkan fungsi pers, membebaskan kebebasan berpendapat, memproduksi aturan dan tata tertib. Pendeknya kita memperkuat demokrasi sebagai system untuk melawan lupa itu, dan bila dibandingkan bertahun-tahun lalu kita memang telah lebih bisa mengingat, menuntut janji serta mempertahankan prinsip dari apa-apa yang pernah kita hadapi dan ini tentu perkembangan yang berarti dan menuju kebaikan.
Akan tetapi ternyata itu saja tidak cukup karena ditengah ingatan kolektif yang sudah membaik ini kita kembali dihadapkan pada persoalan pelik yang tentu saja bersentuhan kembali dengan persoalan lupa melupa. Persoalan itu tidak lain adalah mengenai Pak Harto.
Saat demokrasi membuat ingatan kita menjadi sensitif dan kuat ternyata lepas dari persoalan-persoalan pertimbangan hukum dan medis juga politik ada sempalan perasaan pada sebagian orang yang seakan ingin membuat kita melepaskan diri dari kemelut yang tidak selesai mengenai mantan orang besar ini. hukum memang tidak bicara tentang perasaan namun bukan berarti demokrasi juga tak perlu membahasnya bukan ?
Kita tentu tidak tergesa-gesa mengambil kesimpulan bahwa reformasi dan demokrasi telah gagal karena sebagian dari kita seakan-akan melupakan setumpuk kesalahan yang ada didepan. Karenanya memang perlu untuk membuka kembali kitab melawan lupa dan membaca berbagai kesalahan mantan orang besar ini. Masalahnya adalah pada saat yang sama dihalaman yang lain kitab itu juga ternyata bercerita tentang betapa ada jasa besar presiden kedua kita ini untuk bangsa selama 32 tahun kepemimpinannya. Memang benar bahwa tidak ada yang selalu baik dan terlalu buruk bila kita melihat dari sudut-sudut pandang yang berbeda namun tetap saja orang bertanya setelah delapan tahun reformasi apakah kita telah lupa pada apa yang dulu pernah kita teriakan ?
Tentu saja banyak dari kita tidak lupa pada apa yang terjadi sekian tahun yang lalu toh kita terus diingatkan tiap tahun. Beberapa dari kita bahkan mungkin menjadi bagian dari proses tersebut. Tapi mungkin kita sudah capek, melihat keadaan yang tidak menjadi makin lebih baik, mungkin juga bosan melihat kehormatan hilang dari bangsa ini, atau mungkin kita menganggap bahwa membakar ban dan berteriak dijalan bukan lagi satu-satunya cara berjuang karena saluran sudah dibuka walaupun terkadang mampet dan perlu diperiksa. Toh demokrasi memang membolehkan kita untuk berbeda pendapat.
Mempunyai ingatan yang baik memang adalah prestasi dan sebagai bangsa kita memang tidak boleh gampang melupakan namun lupa juga bukan sebuah dosa yang tidak termaafkan bukan ? Kita tentu tidak ingin mengingat dendam sementara terkadang lupa bahwa cinta seharusnya dapat mengatasi semua kesalahan. Kita tidak seharusnya melupakan bahwa lupa itu perlu untuk mengatasi dendam juga penting untuk menghancurkan keangkuhan dan selanjutnya mampu memaafkan. Tentu saja memaafkan bukan berarti kita memaklumkan kesalahan tidak juga untuk permisif tapi lebih untuk membuat kita belajar untuk malu berbuat salah dan segan mengulang kesalahan yang sama. Kecuali bila kita telah sedemikian tidak percaya dengan kualitas kemanusiaan orang lain dan menganggap mereka sebatu kita sendiri.
Terkadang kita memang perlu mengingat kesalahan namun bukan berarti kita harus menggunakan dendam sebagai bahan bakar dan atau memagari ingatan kesalahan tersebut dengan keangkuhan sebagai pagar batasnya. Ingatan itu tidak harus seperti matematika yang kelihatannya pasti padahal sebenarnya cuma kompromi dan cuma berguna bila diakumulasikan dengan sekian jumlah lain. Artinya kita memang tidak perlu menjumlahkan dendam dengan dendam karena hasilnya mungkin juga tidak lebih baik dari kompromi.
Begitupun ketika ingatan teramat kuat, terkadang kita lupa bahwa sejarahpun ditulis dengan menutupi sebagian fakta yang lain, maka ketika kita mengingat yang kita ingat sebenarnya adalah sebagian fakta dan sebagian lagi kebohongan. Pada titik ini kita mungkin perlu menyesali apa gunanya ingatan dan tak perlu melatenkan lupa sedemikian dahsyat sebagai dosa.
Melupakan memang tak pernah baik, namun ada baiknya kita juga ingat bahwa tidak setiap yang jelek tidak berguna. Sesekali kita memang perlu berkata pada diri sendiri tentang betapa semua orang pernah berbuat salah dan indahnya melupakan mimpi buruk. Kita semua tak perlu buta, tidak perlu goblok namun juga jangan bebal.
Seorang kanselir jerman dasawarsa yang lalu dalam perayaan pendaratan sekutu dipantai Normandia berkata “ all of us whether old or young., whether right or wrong must accept the past. Anyone who not accept the past is guilty to the present and anyone who guilty to the present is blind to the future. Mari kita sejenak terdiam merenungkannya, setelah itu tentu saja kita tetap boleh berdebat namun mungkin tanpa harus kelihatan urat karena bahkan sang Milan Kundera (penulis Kitab Melawan Lupa) itupun, suatu saat kembali kenegerinya dan lupa betapa orang-orang yang kini menyambutnya sebagai sastrawan besar, adalah mereka yang pernah membuatnya ikut terasingkan sekian lama.

[ Muh Burhanudin B ]
Seorang pelupa kronis

Thursday, November 09, 2006

Merenungi KekonyoLAN

Anda juga Boleh Membacanya ?
Apakah ini sebuah renungan atau hanya ……. ?

Alexander The Great pada waktunya adalah seorang Maharaja dengan kekuasaan membentang dari eropa tengah hingga asia selatan. Jengis Khan dan anak-anaknya juga tak kalah memiliki bentang kekuasaan yang hampir serupa. Juga jangan lupakan kekaisaran romawi, persia atau Lenin, Hitler dan Mao Tse tung. Juga jangan lupakan imperium Majapahit dengan Gajah Mada sebagai iconnya untuk sebuah contoh lokal yang tak kalah memiliki bentang kekuasaan yang tak kalah luas. Amerika (“ sebagai suatu Bangsa “) saat ini juga dapat menjadi contoh kontemporer.

Saya sama sekali tidak sedang menawarkan pelajaran sejarah yang ternyata sangat gampang dimanipulasi bahkan terkadang begitu absurd untuk jadi patokan. Penggalan paragraf diatas hanya sebuah penggambaran dari prolog yang saya inginkan dapat memperkenalkan, betapa sejarah telah menempatkan manusia-manusia diatas sebagai orang-orang besar. Alexander bahkan mendapatkan kebesaran itu sendiri sebagai bagian dari namanya.
Sejarah memang menempatkan mereka dengan pujian dan sanjungan atas apa yang telah mereka capai. Bagaimanapun membentangkan kekuasaan dari ujung benua ke ujung benua atau dari suatu tempat ketempat yang lain dalam ukuran teritorial yang sangat luas bukanlah suatu pekerjaan yang gampang. “ Maha sulit “ bahkan saya berpikir hampir tidak mungkin (untuk saya), Lalu bagaimana mereka bisa melakukannya ?, Apa yang mereka miliki hingga membuat mereka dapat melakukan semua ketidakmungkinan itu tidak hanya menjadi mungkin akan tetapi menjadi kenyataan ?
Pertanyaan ini lalu sangat mengingatkan saya dengan kata-kata troltovsky * bahwa “ hanya orang-orang egois yang dapat menjelajahi semesta “ . Sepintas frase ini mungkin tidak akan cukup mendapatkan simpati dari anda, tapi lihatlah kebelakang dan sepertinya anda harus mengakui bahwa motivasi yang membuat segala hal (baca ; keinginan) semua orang besar itu mungkin adalah karena mereka punya sekaligus motivasi dan egoisme yang sangat besar.
Suatu kali Alexander pernah dipertanyakan oleh seorang jendralnya kurang lebih seperti ini “ kenapakah yang mulia Alexander masih ingin berperang…. Bukankah kekuasaan kita sudah cukup luas… ? Alexander yang agung itu terdiam cukup lama sebelum menjawab pertanyaan, akan tetapi yang keluar hanya sebuah jawaban pendek “ Karena saya bukan kamu “. Napoleon Jendral besar Prancis itu juga pernah bersikap serupa ketika mengirimkan tentaranya menyerang tsar yang agung di Rusia ketika dia kalah dia hanya menyampaikan sebuah kata pendek. “ ternyata perhitungan saya meleset “ jawaban itu sangat ringan diucapkan.
Itulah mengapa saat ini menjadi wajarlah apa yang dinyatakan lenin bahwa “ kematian satu orang adalah tragedi namun kematian ribuan orang hanyalah sebuah angka statistik “ juga menjadi dapat dipahami keinginan Hitler untuk membuat bangsa Jerman menjadi bangsa unggul dengan memusnahkan 6 juta pesaing utamanya saat itu (bangsa Yahudi.red).
Bagi para pemimpin besar itu wilayah geografis bermil-mil atau negara hanyalah sebuah titik diatas peta, penduduk hanyalah suatu kewajaran dari keberadaan sebuah dunia dan prajurit hanyalah alat untuk mencapai tujuan. Tidak peduli apapun sebuah imperium harus menjadi kenyataan, apapun demi sebuah tujuan. Maka kekuasaan yang membuat mereka tersanjung itu ternyata berasal dari perang yang menyengsarakan penduduk dari setiap jengkal tanah yang mereka lewati. Kebesaran itu terjadi dari derita bertahun-tahun ribuan orang yang kehilangan segalanya dengan kesadaran dan lebih banyak keterpaksaan demi membuat nama-nama itu diingat diseluruh dunia sebagai penakluk yang mendapatkan dan memperoleh apa yang mereka inginkan.
Sudut pandang ini mungkin sangat berbeda menurut anda . Wajar saja… berpikir seperti itu karena ternyata dunia tidak pernah cukup peduli mengangkat sisi ini. Atau karena memang mereka yang tertindas atas semua pencapaian ambisi itu memang tidak pernah atau jangan atau bahkan tidak mampu menempatkan diri mereka untuk diperturutkan dalam sebuah pelajaran sejarah tidak hanya sebagai angka dan batas-batas wilayah. Tetapi juga sebagai sebuah nilai yang punya sudut pandang dan perasaan menilai atas semua pencapaian ambisi kekuasaan itu.
Atas dasar pikiran ini ternyata saya terpaksa kembali harus bermain dengan frase yang lain bahwa adalah benar bila “ sejarah hanya milik para pemenang “ Penjelasan dan contoh yang saya kemukakan ini mungkin terlalu panjang, bahkan mungkin sulit dimengerti dimana sih relevansinya. Tapi ini hanya sebuah cara lain menilai karena saat ini saya merasakan cukup beralasan untuk menyatakan bahwa harus ada keinginan dan ambisi serta rasa ego yang besar untuk mewujudkan apa yang kita inginkan. Dus untuk menjadi lebih bermartabat sepertinya kita harus mampu menjadi sedikit agak brengsek dari nilai-nilai kemanusiaan. Bila tidak anda hanya akan menjadi pecundang yang dilupakan sejarah.
Tentu saja mungkin kalimat-kalimat diatas tidak cukup membawa simpati anda tapi lihatlah kebelakang atau mungkin tataplah kedepan. Bukankah “ Ranggowarsito “ sastrawan Jawa yang edan itu pernah menyatakan bahwa kita hidup dizaman yang edan dan satu-satunya jalan untuk tetap hidup adalah pilihan untuk juga edan, bila kita tidak mau tergilas roda sejarah. Tragis, mungkin kalimat itu akan keluar tapi cobalah jujur dalam nurani anda melihat bahwa ternyata dunia memang brengsek saat ini. Betapa orang dinilai hanya atas apa yang dicapainya, bukan bagaimana dia mencapainya. Bahwa kekuasaan itu lebih penting dari keikhlasan untuk dikuasai. Bahwa penguasa dan kekuasaan, kehormatan dan penghormatan itu lebih penting atas apapun. Dan menjadi ributlah dunia karena ternyata keinginan manusia adalah selalu menjadi yang paling berkuasa atas sebagian yang lain. Menjadi yang lebih dihornati dari pada yang dilecehkan, lalu munculah yang lemah dan yang kuat, yang dihargai dan yang tidak dihargai.
Semakin brengsek karena ternyata ketika ketidakmampuan hadir ditengah ambisi untuk menjadi yang terbaik, manusia dapat mengorbankan apa saja, siapa saja, berbohong, dan bahkan meniadakan integritas kemanusiannya dengan menjadi brengsek dan rela melakukan apa saja demi sebuah posisi, status, kekuasaan, singkatnya pencapaian ambisi. Untuk itulah egonya harus cukup kuat untuk mengalahkan sisi manusiawinya yang menghargai orang lain.
Lihatlah bahwa untuk menjadi doktor atau profesor orang tidak segan untuk mencuri ide dan melakukan plagiatisme ilmiah. Lihatlah untuk menjadi seorang juara orang dapat mengaturnya dengan perencanaan yang matang atas pengaturan dosen, tugas terstruktur bahkan pengawas yang cukup mampu bekerja sama saat ujian. Lihatlah ini semua sebagai pelajaran bahwa ternyata “ anda harus juga menjadi brengsek agar dapat bersaing dengan orang-orang brengsek didunia yang ternyata sangat brengsek ini “ maka sudah ada dua pelajaran untuk menjadi orang besar.
 Pertama anda harus cukup punya ambisi dan ego yang dapat meniadakan sisi manusiawi anda dan
 Kedua anda harus cukup mampu brengsek agar dapat beradaptasi dengan cara-cara brengsek dari dunia yang brengsek.

Dengan begitu pencapaian lebih berarti “kemunafikan yang hebat daripada usaha yang jujur “. Lalu, apakah menjadi orang besar berarti menjadi orang brengsek ? Jelas saja tidak begitu. Masih banyak orang besar yang tidak brengsek, masih banyak pemimpin atau politikus yang tidak perlu sikut-sikutan dan menceburkan orang lain dalam comberan demi sebuah kekuasaan. Masih ada kejujuran ditengah semua kebrengsekan ini. Tapi sebanyak apa ? berapa banyak ? Lord Acton menyatakan bahwa “ Power Attends to Corupt “ maka saya pribadi takut kejujuran-kejujuran dan keikhlasan itu akan terkikis saat kekuasaan ada ditangan kita. Hanya sedikit orang yang mungkin dapat menggunakannya dengan baik dan itu jelas bukan saya atau mungkin anda.
Namun siapa peduli dengan ajaran-ajaran agung itu. Manusia harus siap mengorbankan sesuatu untuk mencapai sesuatu “ everything need to be paid now days “ siap mengorbankan sesuatu adalah cara mendapatkan sesuatu, pertanyaan apakah yang anda akan korbankan… saya sarankan tak perlu terlalu kita pedulikan.
Apalagi tentang keikhlasan dan ketulusan atau perasaan. Untuk menjadi orang besar, mencapai yang anda inginkan, mencapai ambisi, orang harus melupakan keikhlasan dan ketulusan. Mengapa karena anda ada didunia yang sama sekali tidak tulus. Dunia saat ini adalah dunia yang sangat material sementara keikhlasan dan tulus hanya sebuah romantisme yang abstrak. Lihatlah bahwa dunia sama sekali tidak menghargai mereka yang ikhlas dan tulus. Masyarakat tidak dihargai melainkan hanya pada saat sejumlah nilai diperlukan untuk kembali mengangkat penguasa kepada ambisi kekuasaannya. Bahkan Konfisius yang mengajarkan ketulusan itu sendiri diakhir hayatnya meratapi sikapnya tulusnya yang ternyata tak dapat mengubah penguasa untuk mengangkatnya menjadi pejabat kerajaan. Bahkan konfisius tidak cukup tulus dan bermimpi menjadi pejabat kerajaan agar dapat mengajarkan ketulusan itu sendiri. Lalu mengapa anda harus tulus. Jangan pernah ! ! !.
Apalagi ikhlas, Keikhlasan itu hanya bentuk lain dari kepasrahan, alasan pembenar bagi ketidakmampuan melakukan sesuatu. Jangan coba-coba menjadi Ibrahim dan ismail saat ini karena jelas Ibrahim akan dituntut melakukan percobaan pembunuhan walaupun Jibril dihadirkan sebagai saksi. Dunia saat ini tidak akan menggubris kata atas nama tuhan dan nilai Moralitas keagamaan. Lalu mengapakah anda harus ikhlas.
Tentang perasaan apalagi.. anda harus tahu bahwa bila peduli pada perasaannya Shakspeare tidak akan mampu menjelaskan tragedi dalam sebuah epos Romeo dan Juliet yang melegenda, justru karena hidupnya dipenuhi tragedi perasaan dia mampu menjelaskan tragedi dengan sangat baik. Einstein tidak akan menemukan teori relatifitas umum dan khususnya yang mencengangkan itu bila dia mau peduli pada perasaan istri dan anaknya yang selalu ditinggalkannya kedalam ruang bawah tanah laboratoriumnya. Dan bukankah karena perasaan itulah maka banyak pemimpin jatuh dalam jurang kehinaan. Napoleon karena Marionette, Hitler karena Anna Braun, Dinasti Khan yang pernah sangat barbar luluh karena kekaguman pada budi kaum muslimin, akhirnya tersingkir dari kekuasaan yang telah direbutnya dengan berdarah-darah. Tragisnya bahkan menjadi bagian dari apa yang pernah dihancurkannya sendiri dengan memeluk islam.
Maka, bila anda ingin kekuasaan ini lebih lama, pencapaian itu bisa berhasil, anda harus siap mengorbankan perasaan anda, dan nilai anda sebagai manusia. Anda harus siap berkata seperti analogi engels dan marx atas agama bahwa ” Keikhlasan, ketulusan dan perasaan itu candu yang buruk “
Saya tidak sedang ingin mengajarkan sesuatu yang buruk. Karena percayalah anda akan butuh ini untuk bertahan hidup dalam dunia yang brengsek ini, dunia yang tidak tulus ini, dunia yang tidak memberi kesempatan untuk mengikhlaskan sesuatu ini, dunia yang absurd dan menunjukan eksistensinya sebagai dunia, dunia yang hanya menghargai ambisi dan pencapaian tanpa memandang bagaimana mendapatkannya, dunia yang hanya milik para pemenang, dunia para kelas satu bukan nomor dua, apalagi sepuluh, dunia yang menulis sejarahnya dengan mengorbankan sangat banyak hal. Dunia yang membuat kita tidak lagi mampu mengakui kalau kita dapat disebut manusia.
Ini kebenaran karena kenyataan memang seperti ini, maka anda harus memilih. Saya sendiri mungkin tak mampu hidup dengan cara ini, yang dapat saya lakukan hanya mengajarkan sesuatu yang tidak dapat saya lakukan sendiri agar anda tidak menjadi sedemikian konyol dan menjadi pecundang. Ingatlah bahwa ketulusan ,keihklasan dan perasaan itu tinggal menjadi romantisme dan jangan dipedulikan, namun sesekali biarkan dia lewat karena bukankah orang tidak dapat belajar meninggalkan sesuatu bila dia tidak tahu apa itu. Bukankah kita tak dapat mengerti itu salah bila tidak melakukan kesalahan. Maka keikhlasan dan ketulusan dan perasaan itu biarkanlah lewat dan tinggalah hanya menjadi pelajaran salah yang tidak harus diamalkan.
Bentuklah diri anda menjadi bukan manusia, karena manusia sebenarnya sudah tidak pantas hidup ditempat yang anda sebut dunia saat ini. Mungkin menjadi benar kata-kata Syekh Siti jenar bahwa “ Dunia ini neraka dan keabadian sesungguhnya adalah kematian “ dan Nicholo Machaiavelli dengan - I’ll Principe #- seharusnya mendapatkan aplaus saya sejak lama
Ini mungkin hanya sebuah kegamangan, mungkin raungan yang sangat miring dan subjektif tentang pencapaian sesuatu justru karena tidak mampu mencapai sesuatu. Pembenaran ini pada saat yang sama membuat diri sadar sendiri bahwa dari sekarang diri ini harus juga menjadi brengsek. Dan renungan ini hanya kekonyolan yang miring. Bila anda merasa seperti itu, mungkin benar, kita tidak punya telinga yang dapat mendengar kata-kata dibisikan pada nurani kita. Ucapkanlah selamat pada diri sendiri karena kita semua punya potensi untuk menjadi orang besar karena dunia mungkin telah hanya berjalan atas nama Ambisi. Manusia telah berevolusi dan menemukan bentuknya saat ini. Darwin boleh jadi benar akan tetapi tolong ingatkan dia untuk tidak lagi menulis judul buku dengan kata “ Origin of Species “ karena manusia sudah sama sekali tidak origin sebagaimana pertama kali diciptakan Tuhan
Tuhan dengan semua naluri kemanusiaanya yang dihadiahkan pada kita sebenarnya juga mungkin sudah lari. karena Neraka mungkin juga sudah dibom oleh Amerika

“ Lalu kenapa anda tidak bertepuk tangan ??? ! ! ! “

(M Burhanudin B)/@134
(essai ini dibuat hanya
untuk meratapai kekonyolan suatu pendirian )

Wednesday, November 08, 2006

Bagaimana Mengenal Diri Sendiri ?



bagaimana mengenal diri sendiri ?

itu mungkin hal yang paling tidak pernah kita sadari, juga seringkali kita nafikan saat orang bertanya atau saat kita berhadapan dengan kolom yang memerintahkan kita untuk menggambarkan manusia seperti apakah kita ini. banyak dari kita yang dapat dengan sangat yakin menggambarkan dirinya sendiri tapi tidak sedkit orang yang juga bingung untuk menggambarkan seperti apakah dirinya. termasuk saya

sebuah cermin memang tidak pernah dapat menilai dirinya sendiri. cermin hanyalah refleksi dari cahaya yang datang dan menimpa objek. Kita dengan demikian hanya kesadaran yang melangkahi mesin waktu dan merefleksikan apa yang ada disekitar kita. Diri kita adalah cermin dari kehidupan kita, lingkungan tempat tinggal kita, teman-teman kita, agama kita atau bahkan kesukaan-kesukaan kita terhadap musik, film dan atau buku.

jadi siapakah kita ?
apakah kita ?
dan hendak kemana kita ?

pertanyaan-pertanyaan seperti ini akan tetap jadi pertanyaan bila kita tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkan jawaban. bahkan walaupun kita mungkin tahu apa yang kita inginkan kesadaran terhadap keberadaan diri tidak pernah akan menjadi berarti bila kita tidak pernah punya cukup keberanian diri untuk berkata dan memutuskan seperti apakah kita dihadapan diri kita sendiri. dan inilah yang kami hadapi orang-orang katakanlahsemi introvert yang punya sindrom inferiority complex yang ga bisa dibilang besar namun mungkin cukup signifikan.

yang dapat kita lakukan ketika tidak dapat menjelaskan sesuatu memang mungkin hanya lari dan bersembunyi pada sekian alasan-alasan pembenar, justru pada saat yang sama ketika kitapun tahu bahwa kebenaran memang hanya tertulis dilangit dan kebenaran semua perkataan diluar itu mungkin sangat relatif.

siapakah kita, hingga saat ini akupun belum dapat menjawabnya. mungkin saja saya tidak cukup berani untuk memutuskan, namun lebih dari itu mungkin juga karena saya cuma xermin yang hanya merefleksikan sesuatu. atau mungkin saya tidak cukup narcis untuk memuji diri saya sendiri.

Aku hanya ilalang dihamparan hening
Berselimutkan tanah mengering

Diriku cuma sebentuk nama
Berlari tanpa makna menangisi rinai hujan

Dentingku desau angin
Kemudian hening tipis pada selaput dinding
Yang kubisa cuma menari tanpa berlari

Namaku tanpa kata
Bunyi tanpa nada
Harmoni yang tanpa suara
Cuma kehadiran yang hampa

Bila mungkin ingin kebentuk dunia
Dimana massa ruang tak berwaktu
Melarikan diri dalam bayangan
Luruh, tenggelam lalu menghilang

tapi aku Cuma ilalang….
Dan ilalang sebentar menguning
Lalu terbang menghilang

Takdirku adalah hampa
Nilaiku bukan bilangan
Cuma kekosongan yang ada

Karena aku cuma ilalang
Dan ilalang tak berkata
walau bernama namun tanpa makna

@134 - M13_b
[ selimut tipis bimbang saat keraguan datang ]