metamorfosa_bintang_utara

semua yang hidup bergerak menuju 1 titik. bahkan yang matipun tidak sebenarnya mati.karena hidup selalu ada didepan dan bukan dibelakang maka merisaukan masa lalu semustahil ingin kembali dilahirkan. tapi siapa tahu ? dalam dimensi yang lain ada saat ketika nanti semuanya menuju pada titik dimana kita berawal. karena pada akhirnya ternyata kita hanya kembali ke tempat kita bermula. coz theres nothing certain but uncertainty

Name:
Location: Ambon, Maluku, Indonesia

just read my pieces of mind

Monday, October 30, 2006

Catatan seorang Penonton [ Demonstran ]




Soe Hok gie
& Catatan “ Seorang Penonton Demonstran “





- Sekarang aku berpikir, sampai dimana seseorang masih tetap wajar, walau ia sendiri tidak mendapatkan apa-apa. Seseorang mau berkorban buat sesuatu, katakanlah ide-ide, agama, politik atau pacarnya tapi dapatkah seseorang berkorban tidak untuk apa-apa. Aku sekarang sedang terlibat dalam pemikiran ini sangat pesimis dan hope for nothing -

(Soe Hok Gie)


Berkorban tidak untuk apa-apa. Frase ini sempat membingungkan. Begitu membingungkannya hinga hampir saja saya menabrak kios jajanan yang ada dipinggir jalan akibat memikirkannya.
Berkorban sebagai perbuatan, adalah hasil interaksi pikiran, keinginan dengan syaraf-syaraf otak yang kemudian diteruskan pada syaraf motorik secara riil dalam konteks fisik. Namun lebih dari itu berkorban (selanjutnya disebut perbuatan atau berbuat sesuatu) tidak hanya sekedar sebuah konsep fisik. Karena terkadang yang namanya perbuatan juga adalah sebuah konsep yang abstrak. Bila yang namanya ide pun kita kalkulasi sebagai perbuatan. Bagi saya, entah apakah ini salah atau tidak. Yang namanya perbuatan adalah determinasi dari sikap seseorang, sedangkan sikap itu sendiri adalah perbuatan akal yang ada karena proses berpikir. Disinilah segala sesuatu berasal dan kemudian eksis. Sebagaimana apa yang dinyatakan oleh Descartes “ Corgito Ergo Sum “.

Apa yang disampaikan oleh Gie menjadi mustahil bagi saya karena perbuatan yang awalnya ada dalam korteks pikiran itu tak bisa dielakan akan selalu berinteraksi dengan nilai dan ide. Seseorang melakukan tindakan karena keberadaan nilai dan ide itu. Katakanlah orang dapat berbuat tidak untuk agama, politik, pacarnya juga idiologi atau mungkin untuk keuntungan ekonomi. Tapi dapatkah seseorang berbuat tidak untuk ide ? saya rasa pasti tidak. Karena bahkan ikhlas dan tulus itu sendiri adalah “ ide “ . Lebih dari itu manusia tidak dapat lepas dari nilai-nilai. Bila tidak untuk agama, atau ekonomi seseorang pasti berbuat untuk idiologi, sedangkan bila tidak untuk kepercayaannya seseorang sangat mungkin berkorban untuk yang namanya pacar atau cinta. Singkatnya tanpa nilai tak ada yang namanya tindakan.

Kemudian tidak itu saja, karena terkadang bahkan yang namanya tindakan dan pengorbanan dengan dasar yang ideal, juga dapat dibungkus dengan nilai yang sebenarnya hanya hipokritas. Gie kemudian saya sadari sebenarnya tidak ingin mempertanyakan pikiran diatas secara absolut. Seorang gie hanya ingin mempertanyakan kejujuran perbuatan dan dasar bertindak kita semua atas hal-hal yang kita “ perjuangkan “ dan konteks kalimat itu memang tentu saja lintas waktu, karena yang namanya kemunafikan memang bagian dari sejarah manusia. Pikiran dan kata-kata gie diatas sangat mungkin adalah hanya bentuk kekecawaannya terhadap perjuangan dan pergerakan yang dilakukan, didalaminya, juga disaksikannya. Sebagaimana suatu saat yang lain dia juga pernah berucap “ Sebagian dari pemimpin-pemimpin KAMI adalah maling juga, mereka korupsi, mereka berebut kursi, ribut-ribut pesan mobil dan tukang kecap pula.

* * *
Perjuangan dan pergerakan sebagaimana sejarah itu sendiri, memang adalah ulangan, namun pada ulangan-ulangan itulah seringkali sebuah perjuangan tidak lagi menjadi perjuangan melainkan hanya kemunafikan, bahkan lelucon. Sebagaimana kata Marx , akhirnya pada ending, perjuangan hanya melahirkan maling.

Mereka yang memberangus maling-maling tua dengan segera kemudian menjadi maling baru.
Bagaimana hal ini bisa terjadi ?

Pada awal perjuangan semua orang digerakan melakukan sesuatu untuk nilai-nilai yang dipercayai, idiologi, agama, kemanusian, keadilan bla… bla…. bla…. bla, hanya saja masalahnya, semua nilai itu sangat ideal bahkan terkadang sangat utopis hingga sulit dilakukan dalam waktu yang singkat dan konsistensi kemudian menjadi sebuah masalah baru ditengah begitu banyak godaan dalam pergerakan. Polarisasi gerakan juga memecahkan kolektifitas perjuangan atas cita-cita dasar yang pada awalnya dianggap sama oleh banyak kelompok dan membuat bargaining perjuangan akhirnya menjadi pecah dan rapuh. Selain itu munculnya tokoh-tokoh dalam pergerakan membuat perjuangan kehilangan pegangan nilai kolektifitasnya. Pergerakan dan perjuangan dengan sendirinya menjadi identik dengan tokoh ini dan tokoh itu sehingga konsep perjuangan dan kepentingan menjadi tidak jelas. Seringkali bahkan pergerakan dan perjuangan ide tidak hanya menjadi alat kepentingan (baca; tunggangan) tokoh pergerakan saja, namun lebih dari itu juga menjadi instrumen politik dan ekonomi kepentingan orang lain (dengan tidak sadar ataupun melalui persundalan kesadaran). Pergerakan dan perjuangan kemudian hanya menjadi ajang tunggang menunggang, saling cibir, sebelum akhirnya saling jungkal-menjungkal. Perjuanganpun akhirnya harus mati muda, layaknya bunga yang terinjak tapak demonstran pada taman rumah seorang koruptor. Pemandangan yang sangat memiriskan hati, bahkan pada orang-orang yang hanya menjadi penonton dalam perjuangan dan pergerakan dalam replikasi idenya yang paling fisik seperti demonstrasi.

Hari-hari ini kita memang, sedang menyaksikan ulangan sejarah ketika uang dan materi yang pada awalnya adalah supporting instrument bagi pergerakan dan perjuangan kemudian mengambil tempat ide dan nilai-nilai perjuangan para pejuang-pejuang muda kita. Betapa polarisasi tokoh yang mau tak mau harus terjadi dalam perjuangan kolektif pada akhirnya menghancurkan nilai, ide, tujuan aktifitas pergerakan dan perjuangan bahkan kolektifitas itu sendiri. Sesuatu yang membuat kita tertunduk malu pada kata-kata gie bahwa “Kita, generasi kita ditugaskan untuk memberantas generasi-generasi tua yang mengacau. Generasi kita yang menjadi hakim atas mereka yang dituduh koruptor-koruptor tua. Kitalah yang dijadikan generasi yang akan memakmurkan indonesia !! “

Sesuatu yang membuat kita bertanya, lalu apa jadinya masa depan
bila sejarah kemudian hanya melahirkan lelucon-lelucon yang sarkas ?

Tentu saja kita tidak sedang dengan sangat utopis dan munafik bermimpi bahwa yang namanya sokongan-sokongan kebutuhan hidup seperti uang bahkan juga popularitas harus dinafikan oleh semua orang yang menghambakan dirinya pada jalan perjuangan sementara kita sendiri sedang dengan sangat giat berkubang dalam pencarian materi dan ikut bermimpi untuk populer. Ya,…karena manusia tetaplah manusia yang pokok hidupnya sebenarnya berputar pada urusan-urusan kebutuhan atas segala macam hal.

Karena kebutuhan itulah maka manusia (sebaiknya dibaca: para tokoh pergerakan) melakukan sesuatu, belajar, menganalisa, bernegosiasi, memaki, mencuri bahkan membunuh dan makan teman sendiri. Dan karena itulah juga sekian penegasan lain akan hadir dibelakang membela kebingungan atas frase “ melakukan sesuatu tidak untuk apa-apa ” itu.

Memiliki kepentingan dalam perbuatan sebagaimana telah ditegaskan diatas adalah sesuatu yang sangat lumrah dan manusiawi sehingga sebenarnya hal itu tak perlu menjadi kebingungan atau persoalan bila kita mau secara jujur mengakui dan mengkomunikasikannya secara adil terhadap kesadaran kita untuk berbuat sesuatu, tentu saja dengan tetap berpegang pada PRINSIP dan KOMITMEN dengan huruf KAPITAL. Dengan begitu melakukan sesuatu untuk sesuatu menjadi tidak mengapa, asalkan ketika kita melakukan sesuatu untuk agama kita juga melakukannya untuk cinta sehingga tak perlu ada terorisme. Ketika kita melakukan sesuatu untuk ekonomi kita mendasarinya untuk agama sehingga kita tidak korupsi, ketika melakukan sesuatu untuk kebebasan dan demokrasi kita melakukannya dengan tanggung jawab sehingga tak ada anarkisme atau democrazy dan ketika melakukan sesuatu untuk perjuangan dan perubahan kita tidak cuma menuntut namun juga memberi solusi sehingga upaya kita tidak cuma NATO .

Hal ini harus ditegaskan, karena hanya dengan beginilah kita bisa berharap pada segelintir pejuang-pejuang muda yang sampai hari ini masih bertahan dan siap berkorban untuk idealisme dan nilai-nilai yang dipercayainya. Kita tentu saja berharap para pejuang-pejuang muda kita tidak terlalu cenderung menjadi manusia-manusia muda yang seringkali terlalu cepat mengambil kesimpulan, menyumpah, mencibir, melecehkan, serta terpengaruh dengan begitu banyak godaan perjuangan. Kita bermimpi suatu saat kata-kata Marx diatas tidak perlu terus berulang sehingga dia akan menertawakan kita dengan leluconnya yang sebenarnya sama sekali tidak lucu melainkan satir.

Akhirnya bagaimana masa depan memang tidak dapat kita pastikan !!!

Seseorang pernah berkata “ all of us whether guilty or not, whether old or young must accept the past, anyone who close his eyes to the past is blind to the present “ . Agaknya kita hanya perlu menatap kebelakang sebentar untuk berjalan kedepan dan belajar untuk tidak jatuh pada lubang yang sama untuk kesekian yang lebih dari dua kali.

Pada akhirnya memang sejarah yang akan memutuskan bagaimana seseorang diingat ketika dia melakukan sesuatu, mengungkapkan segala motivasi, keinginan dan niat-niat yang belum terjangkau sehingga mungkin disesali oleh para pelaku perbuatan. Sejarahlah yang akan mengajarkan bagaimana seseorang bisa merubah sikap lakunya menjadi seseorang yang benar-benar lain dari pada tampaknya yang awal.

“ Bagaimanapun sejarah akan mencatat,
biarkan saja dia mengalir melewati jalannya “

Saya hanya ingin kita secara jujur mengungkapkan motivasi terdalam ketika kita melakukan sesuatu, karena bahkan pada akhir seorang gie juga berkata “ I am not utopis anymore, I am bitter realistic “ dan saya teringat bahkan saya, belum pernah menjadi demonstran. Selanjutnya, biarkan saja mereka yang telah mati muda dalam perjuangan, baik secara fisik maupun ide meninggalkan kita dengan pesan dan kenang masing-masing. Biarkan mereka, karena kita masih ingin tetap menjadi mentari yang selalu setia menyinari untuk melihat mekarnya bunga di pekarangan Indonesia.

Pada akhir ini ijinkan saya merubah sedikit kata-kata gie .

Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan,
Tetapi dibentuk seiring kelahiran
Yang tersial adalah harapan yang tak kunjung kenyataan
Rasa-rasanya memang begitu
Bahagialah mereka yang tak patah ditengah jalan.

- Wallahu Alam -


Minggu, 17 juli 2005

naskah lama yang berjumpa kembali dengan
momen sumpah pemuda

Tuesday, October 17, 2006

Penemuan Jati diri [ a soliloquy ]

Penemuan Jati Diri [a soliloquy]

=====================================================================================================

Penemuan jati diri seorang hamba …….

Tuhan...Siapakah Tuhan...
Apakah Tuhan itu satu?
Ya………………………………………. Tidak……………………
Apa..? Kau gila...!
Tunggu,
bukankah konsep satu ada jauh setelah Tuhan itu ada
Dan bukankah “Satu” hanyalah sebuah konsep
yang terjebak dalam rutinitas ruang dan waktu
Melebihi dari kuasa-Nya

Namun, apakah salah bila aku katakan
bahwa Tuhan itu tidak satu, dua ataupun tiga?
Ya, karena kau berada dan berbahasa
dalam konteks yang terikat dalam ruang dan waktu
Jadi sesuaikanlah dalam batasan ruang dan waktu.
Lalu............

[run_may205]

=====================================================================================================


" Penemuan jati diri seorang Hamba ". kalimat judul sebuah puisi ini betul-betul menarik hati saya untuk berkomentar. bukan karena penulisnya adalah seorang yang telah cukup punya nama dalam konstelasi perpuisian nasional atau karena substansinya betul-betul sesuatu yang teramat penting untuk dikomentari, seperti yang sedang ramai dibicarakan media dalam terminologi terorisme dan dalang-dalang teror saat ini. tetapi hanya karena tema ini kebetulan sedang pas dengan suasana hati saya. Sama seperti anda yang mungkin suka dengan sebuah lagu baru saat ini karena liriknnya pas dengan kondisi kemanan dan ketertiban dalam jagat persemayaman raga anda.

>>/ :

Menemukan jati diri itu bukankah berarti menjadi diri sendiri, memiliki kecendrungan berpikir, bertindak dan berolah pikir sendiri ? Jawabannya ya atau tidak ? Bila jawabannya ya maka saya mungkin setuju bila kita semua tidak pernah menjadi diri sendiri. Toh sikap dan semua kecendrungan berprilaku kita ini warisan kultural, titipan psikologis dari zaman yang melahirkan kita kedunia, sikap dan tindak tanduk kita dibangun oleh kecendrungan pergerakan alam yang membesarkan kita. Maka manusia mungkin tidak pernah merupakan produk orisinil dari dirinya sendiri. Artinya dengan kata lain manusia itu mungkin hanya benda setengah manusia yang dimanusiakan oleh lingkungannya, yang juga berarti pabrik Tuhan hanya menghasilkan produk setengah jadi.

>>/ :

Atau bila jawaban kita tidak, maka mungkin konsep penemuan jati diri yang kita maksudkan itu tidak lain bahwa dengan kata yang lebih mudah kita setuju bahwa menemukan pribadi atau diri sendiri itu tidak ditentukan oleh sarana atau alat yang kita gunakan untuk menemukan diri kita itu, tetapi bagaimana wujud jati diri itu sendiri setelah (kalau bisa) ditemukan. Jadi sarananya bisa saja dengan bantuan orang lain, atau juga mungkin dengan sedikit meniru-niru dulu segala sesuatu, baru kemudian menemukan konsep dan wajah sendiri dalam proses meniru-niru itu.
Nah, kalau ini yang anda setuju, saya kok rasanya juga kepingin setuju dengan pendapat anda. Masalahnya saya ini bingung juga, kalau tidak meniru-niru begitu, dari mana saya ini belajar menjadi manusia saya yang sekarang. Lagipula dulu itu kok rasanya benar kalau saya ini belajar makan dari Orang Tua saya, bahwa makan itu caranya begini, metode dan prosesnya yang sopan lagi efektif seperti ini dan lain-lain, dan lain-lain. semua teori dan praktik makan itu datang dari orang lain yang bukan saya sendiri.
Tapi kalau bahwa perlu makan itu Naluriah saya setuju karena saya tidak pernah belajar untuk lapar, namun perut saya ini seperti sudah dari sananya beroperasi dengan proses kontinyu yang melahirkan rasa lapar itu. Selain itu rasanya berat sekali ikut-ikut menyimpulkan kalau saya ini hanya produk setengah jadinya Tuhan, maka yang paling pas dengan saya saat ini mungkin hanya ikut setuju dengan pendapat itu tadi..

>>/ :

Setelah saya melihat semua teori dan praktek makan itu, saya juga pada akhirnya bisa juga melahirkan teori saya sendiri, saya merevolusi cara makan yang pernah saya pelajari dengan metode yang menurut saya sendiri efektif walaupun menurut orang lain mungkin agak keluar dari pakem. Misalnya saya menemukan cara bahwa makan yang efektif itu bisa sambil berlari kekelas untuk mengikuti kuliah karena sudah terlambat atau makan yang baik itu dirapel dengan segala sesuatu yang serba lebih, misalnya nasi banyak lauk dua atau tiga air melimpah dan lain-lain, dan itu rasa-rasanya metode saya sendiri karena yang jelas memang diluar pakem dan tidak pernah diajarkan oleh orang tua saya, dosen atau apalagi pengasuh.

>>/ :

Karena itu anda jangan jadi tersinggung karena revolusi cara makan saya itu, atau anda jangan nganggap kalau saya mencatut-catut cara makan anda, wong saya ini merasa bahwa kayaknya anda kok yang meniru-niru saya, ikut-ikutan dengan apa yang saya lakukan dulu atau bisa juga anda dan saya yang mungkin punya kecendrungan yang sama.
Tapi lebih dari itu, soal makan ini kan juga cuma contoh saja bahwa dengan meniru pada mulanya saya bisa juga melahirkan metode dan menemukan diri saya sendiri dalam hal makan dan minum. Artinya pada hal lain mungkin juga bisa begitu. Makanya saya berani juga menganggap bahwa hal sama akan terjadi, misalnya saja. ini misalnya saja ya. Sheakspeare itu mungkin ngak pernah mbacai naskah Layla dan Majnun tapi kok ceritanya bisa sedikit-sedikit sama begitu, atau contoh yang lebih lokallah pada cerita tenggelamnya Kapal Van Der wijk nya Buya Hamka, kok rasa-rasanya sama dengan sebuah cerita Arab. artinya keduanya mungkin saja meniru-niru dulu, tapi bukankah semua orang pada mulanya cuma meniru-niru saja orang lain , sama seperti urusan cara makan dan minum saya itu.

>>/ :

Shakspeare dengan Romeo dan Julietnya (katanya) dianggap meniru-niru Layla dan majnun tapi, bukankah Sheakspeare yang dimegahkan dunia sebagai sastrawan besar itu tokh kemudian tidak menjadi pribadi yang sama dengan Syaikh Nizam penulis cerita Layla dan Majnun. Shakspeare menjadi dirinya sendiri, dengan kecendrungannya sendiri, serta mungkin juga dengan revolusi cara berceritanya sendiri yang sangat berrbeda dengan semangat bertutur dan nilai yang ditawarkan Syaikh Nizam dalam karya-karyanya. Dan kalaupun tidak mau setuju dengan pendapat ini, saya masih punya satu pendapat lagi bahwa bisa jadi ini semua karena manusia mungkin punya kecendrungan-kecendrungan yang sama.
Sama seperti anda yang juga menemukan cara makan yang efektif dan banyak seperti yang juga saya lakukan. Artinya saya mungkin ingin bilang bahwa terkadang manusia yang lahir dari rahim yang berbeda, latarbelakang dan proses kejadian yang berbeda. Ada yang dirumah mewah atau dikolong jembatan ini sedikit-sedikit juga punya keseragam-an tertentu dalam pola pikir, sehingga mungkin juga bisa jadi bahwa proses kesamaan ini tidak berhenti pada reaksi alamiah yang itu saja tetapi juga menjadi, bahwa manusia ini juga (mungkin) saja punya jati diri yang sama

>>/ :

Artinya ada lebih dari sedikit pribadi-pribadi dengan kecendrungan yang sama dalam dunia ini, dus juga artinya jati diri saya ini juga mungkin sama dengan orang lain, yang mungkin juga jati diri anda

>>/ :

" Tapi kok rasa-rasanya benar, ya kalau manusia itu dibangun oleh nilai-nilai yang ada diluar dirinya, bahwa saya itu nggak bisa hidup sendiri, bahwa diri saya itu hanya produk kondisi, situasi dan faktor-faktor diluar diri saya sendiri, ibu saya, teman sekolah, guru, pacar, bacaan yang saya baca, film yang saya tontoni, musik yang saya dengar dan jangan lupa agama yang saya anut serta banyak lagi faktor-faktor X yang lain. yang mengiyakan bahwa saya tidak menciptakan pribadi saya sendiri. Tapi bukankah itu wajar juga. bukankah bukan prosesnya saja yang penting tapi lebih dari itu adalah bagaimana akhirnya.

>>/ :

Segala sesuatu yang dibentuk pun tidak pernah sangat sama dengan apa yang digunakan sebagai perbandingan untuk mengukur dan menemukan diri sendiri. Nah perbedaan yang sedikit itulah diri anda, penemuan jati diri anda. Toh apa yang anda temukan mungkin juga sama dengan penemuan jati diri yang dilakukan orang lain. karena kita dibekali akal yang sama untuk berpikir, bahan baku yang sama untuk diolah, permasalahan-permasalahan alamiah (Sunatullah) yang serupa untuk disikapi untuk melahirkan sebuah bentuk penyelesaian baru, sebuah jati diri yang berbeda dalam penyelesaian masalah. walaupun mungkin perbedaanya itu cuma sepersekian juta milimeter persegi dari bangunan jati diri yang kelihatannya sama itu. Tapi kan tetap saja berbeda dan mesti, tetap merupakan sebuah Revolusi.

>>/ :

Kalau begitu,… Lho, Sekarang kok jadi saya yang bingung, sendiri !!!. Terus apa sih penemuan jati diri itu ?. Anda ini kok belum ngerti-ngerti juga kalau saya ngomong seperti ini, karena saya belum juga menemukan diri saya sendiri. saya ngomong begini ini cuma karena pengen membela diri saja, bikin alasan yang sedikit-sedikit bisa masuk akal orang karena ada yang bilang kalau tulisan saya ini, "ya" tulisan yang sekarang anda baca ini gayanya sama dengan gaya mh, padahal saya cuma pingin tulisan saya menghasilkan efek psikologis seperti yang diakibatkan oleh tulisan orang itu terhadap saya.
Saya cuma kepingin menjelaskan sesuatu yang menarik keriuhan akal saya dengan metode yang sudah jelas saya rasakan akibatnya secara langsung. eh kok ada yang bilang kalau saya ini tidak menjadi diri saya sendiri. memangnya orang yang bilang itu juga sudah menemukan dirinya sendiri dan lalu pernah hilang dimana dirinya hingga pake mesti ditemukan segala dan memangnya diri saya ini pernah hilang dimana juga hingga saya mesti mencari-cari jati diri saya sendiri. Makanya saya lebih senang kalau judul puisi teman yang saya kagumi itu bukan penemuan jati diri seorang Hamba tetapi " menjadi hamba yang menjadi dirinya sendiri " sehingga saya tidak perlu repot-repot bikin segala macam alasan pembenaran untuk teori saya sendiri.

>>/ :

Tentang menemukan diri dan menjadi diri sendiri itu, kalau bisa maka sekarang ini saya ingin menyarankan supaya anda tidak ikut pusing-pusing mikir soal jati diri seperti saya ini. saya jamin anda pasti ikutan bingung. Makanya itu, daripada anda bingung, kan lebih baik kalau anda setuju dengan saya (toh selama ini kan saya selalu setuju dengan anda) bahwa kalaupun kecendrungan sikap kita, tulisan kita, cara berpikir kita dan semuanya sama dengan orang lain toh itu berarti kita sudah menemukaan diri kita sendiri, setidaknya kita menemukan diri kita sebagai orang yang ikut-ikutan dengan sikap, cara berpikir dan bertindak orang lain. sampai disitu maka kita tak perlu lagi ribut-ribut berdebat apakah kita sudah menjadi diri kita sendiri atau belum. lagipula apa benar kita bisa menjadi diri kita sendiri kalau sampai sekarang saja saya sendiri belum pernah menjumpai sesuatu yang namanya diri saya itu, tidak kenal dengan diri saya itu sendiri, atau dengan kata lain belum menjumpai diri saya itu atau dengan kata lain lagi belum menemukan diri saya sendiri itu.

>>/ :

Nah kan sekarang saya bikin bingung lagi !!!!.
makanya sudah ngak usah lagi kita ngomong-ngomong mengenai persoalan yang satu ini. bikin pusing, seperti benang kusut, yang kalau coba kita tarik semakin kusut lebih daripada permulaannya.

>>/ :

" akh… ini mungkin saja karena jati diri itu ".
Shut Up kan sudah saya bilang ngak usah lagi ngomong soal itu. Sok mau ikut-ikutan seperti saya kamu !!!.
Saya bentak kawan saya itu.


M Burhanudin B / @134 sudah lama sekali

untuk kamu yang sedang mencari. Terima kasih untuk terus mengingatkan
bahwa kita semua memang masih sama-sama dalam proses
yang kita tidak tahu akan berujung kemana. semoga selamat sampai tujuan

Tuesday, October 10, 2006

pegawai kelurahan [ apa coba ? ]


Pegawai Kelurahan [ Apa coba ? ]

Kalo ada yang nanya sama kamu Pegawai apa yang paling sering ada dalam sinetron-sinetron Indonesia horror, drama maupun dendam-dendaman dan intrik-intrikan ga jelas, jawabannya pasti pegawai kelurahan.

Kenapa pegawai kelurahan ? saya juga ga tau tepatnya kenapa. Yang jelas itu menandakan kalo pegawai kelurahan memang paling TOP Bgt se Indonesia. Bayangin aja dari sekian juta PNS [ katanya > 8 juta ] yang ada di Indonesia, Cuma pegawai kelurahanlah yang paling sering ada dalam scenario-skenario sinetron. Itu artinya secara praktis para sutradara memang telah bisa menilai dan menghormati kepiawaian para pegawai kelurahan dalam soal acting mengakting. [ ini walaupun pada akhirnya yang jadi pegawai kelurahan di sinetron bukan pegawai kelurahan beneran ; hopefully someday it will be ] dan juga artinya para pegawai kelurahan punya keunggulan komparatif untuk lebih sukses dalam dunia sinetron, pengartisan, pokoknya dunia hiburanlah dibandingkan PNS-2 yang lain. Lho kok bisa pembenarannya jadi kayak gitu ?
Tentu saja bisa, buktinya liat aja dekat-dekat [dekat bgt bahkan].

Aniwei itu Cuma prolog kok, bahkan sekedar pingin main-main aja sih.

The truth is, gue cerita kayak gini itu cuman karena ngeh aja, kenapa sering banget pegawai kelurahan itu jadi korban pengdiskreditan dan stereotip birokrasi yang jelek dalam produk-produk media massa yang dikonsumsi sama public, ya misalnya sinetron itu tadi bandingannya mungkin cuma Polisi Lalu lintas saja kali….
Gue ngerti kalo produk hiburan public itu biasanya cerminan dari kondisi yang ada dimasyarakat dan bahwa banyak kejelakan yang dimiliki pegawai kelurahan gue juga ga membantah, tapi kok jadinya cuma pegawai kelurahan yang distereotipkan sebagai icon PNS yang malas, ga ada kerjaan dan ga becus menangani persoalan-persoalan dimasyarakat bahkan yang paling parah moral pegawai kelurahan juga diidentikan dengan moral penilep uang masyarakat dalam sinetron-sinetron kita. Padahal kan kalo mau ditelisik lebih jauh dikit, PNS yang lain dalam badan-badan birokrasi yang lebih besar kan justru punya prestasi memalukan yang lebih gede lagi dari pada pegawai kelurahan. Kita bisa bilanglah bahwa prestasi jelek dan ga jelek itu kan hampir berbanding lurus sebenarnya dengan besarnya sebuah lembaga.

Examplenya mudah banget. Antara Winnie the pooh sama Duffy duck kan pasti winnie the pooh makannya lebih banyak [ hubungannya apa sebenarnya ? gw jg bingung. Artiin aja ya ndiri  ]

Nah dari contoh yang segiitu aja sebenarnya gw udah bisa protes habis-habisan sama penulis-penulis skenario itu. Walaupun pegawai kelurahan memang contoh yang paling dekat dan paling sering berhubungan sama para penulis skenario dan sutradara-sutradara yang minta ijin syuting dikampung, kan tetap aja mustinya para sutradara dan penulis skenario itu bisa melakukan OBSERVASI yang lebih melebar dan mendalam [ istilah MLM] serta lebih akurat lagi untuk memberi contoh PNS-2 yang ga bener. Jangan cuman akhirnya pegawai kelurahan yang dikorbankan dari sekian juta PNS indonesia yang ga bener. Jangan dong…….

Sutradara sama penulis-penulis skenario itu mestinya tahu kalo jadi pegawai kelurahan itu sebenarnya peran watak yang susah banget ngjalaninnya. Apalagi kalo kita udah terbiasa ngelakuin sesuatu hal, dinamis dan ga mau statis. Mereka juga msutinya sadar bahwa jadi pegawai kelurahan itu tekanannya berat banget. Jadi PNS aja tekanannya udah berat dan sering disterotipin macam-macam. Apalagi jadi pegawai kelurahan. Maka itu gue Cuma pingin menghimbau… tolong ya jangan nambah-nambah beban psikologis orang yang jadi pegawai kelurahan.

Karena itu gw jadi pingin menghimbau orang-orang kalo ga semua pegawai kelurahan itu sebenarnya jelek, buktinya gw adalah pegawai kelurahan yang baik hati, rajin menabung, suka menolong dan temenan sama dian sastro [in my day dream aja kali ], terus orang-orang juga mesti ngerti kalo akibat pembagian beban kerja yang ga merata dalam birokrasilah yang bikin pegawai negri [ bukan hanya pegawai kelurahan lho ] itu banyak santainya, lalu jadi malas dan akhirnya ga efektif kerjaannya. Penilaian hasil kerja, kualitas kerja dan prestasinya juga ga jelas makanya bikin orang-orang itu jadi ele-elean [ istilah tentara sama kayak dikampus dulu ]. Karena itu perubahan kondisi itu mustinya justri dimulai dari atas, dengan segala kebijakan yang memberdayakan PNS dan utamanya kelurahan.
Makanya kalo pingin ikut merubah suasana birokrasi di Indonesia, kontribusinya sebaiknya juga yang positif dong, jangan justru nambah-nambahin beban para pegawai kelurahan dong dengan segala pengsterotipan yang ga adil itu.
Gw bisa bilang kalo kayak gini maka yang terjadi itu sebenarnya adalah proses destrukturisasi massal masyarakat dan peradaban. Itu kelakuan anarkis, bahkan agak nihilis sebenarnya. Coba aja bayangin kalo hasil ini semua adalah orang-orang ga mau lagi jadi aparat kelurahan. Bukannya nanti proses pelayanan di masyarakat tambah berabe lagi dan yang rugi juga nantinya para sutradara dan penulis skenario karena mereka juga jadi ga punya icon buat dijadiin contoh pegawai negeri..

Hallllllaaaaahhhhhhhhhh lu boleh aja bilang kalo ini proses pembelaan diri dan memang iya, ini proses pembelaan diri. Kalo bukan kita yang membela diri kita sendiri siapa lagi coba. And least but not least gw juga pingin bilang kalo berkarya itu bisa dimana aja dan bahkan dari lumpurpun lahir teratai yang indah.

Entah bingung, entah apa setelah lihat sinetron di TV
M burhanudin september 2006