metamorfosa_bintang_utara

semua yang hidup bergerak menuju 1 titik. bahkan yang matipun tidak sebenarnya mati.karena hidup selalu ada didepan dan bukan dibelakang maka merisaukan masa lalu semustahil ingin kembali dilahirkan. tapi siapa tahu ? dalam dimensi yang lain ada saat ketika nanti semuanya menuju pada titik dimana kita berawal. karena pada akhirnya ternyata kita hanya kembali ke tempat kita bermula. coz theres nothing certain but uncertainty

Name:
Location: Ambon, Maluku, Indonesia

just read my pieces of mind

Thursday, November 09, 2006

Merenungi KekonyoLAN

Anda juga Boleh Membacanya ?
Apakah ini sebuah renungan atau hanya ……. ?

Alexander The Great pada waktunya adalah seorang Maharaja dengan kekuasaan membentang dari eropa tengah hingga asia selatan. Jengis Khan dan anak-anaknya juga tak kalah memiliki bentang kekuasaan yang hampir serupa. Juga jangan lupakan kekaisaran romawi, persia atau Lenin, Hitler dan Mao Tse tung. Juga jangan lupakan imperium Majapahit dengan Gajah Mada sebagai iconnya untuk sebuah contoh lokal yang tak kalah memiliki bentang kekuasaan yang tak kalah luas. Amerika (“ sebagai suatu Bangsa “) saat ini juga dapat menjadi contoh kontemporer.

Saya sama sekali tidak sedang menawarkan pelajaran sejarah yang ternyata sangat gampang dimanipulasi bahkan terkadang begitu absurd untuk jadi patokan. Penggalan paragraf diatas hanya sebuah penggambaran dari prolog yang saya inginkan dapat memperkenalkan, betapa sejarah telah menempatkan manusia-manusia diatas sebagai orang-orang besar. Alexander bahkan mendapatkan kebesaran itu sendiri sebagai bagian dari namanya.
Sejarah memang menempatkan mereka dengan pujian dan sanjungan atas apa yang telah mereka capai. Bagaimanapun membentangkan kekuasaan dari ujung benua ke ujung benua atau dari suatu tempat ketempat yang lain dalam ukuran teritorial yang sangat luas bukanlah suatu pekerjaan yang gampang. “ Maha sulit “ bahkan saya berpikir hampir tidak mungkin (untuk saya), Lalu bagaimana mereka bisa melakukannya ?, Apa yang mereka miliki hingga membuat mereka dapat melakukan semua ketidakmungkinan itu tidak hanya menjadi mungkin akan tetapi menjadi kenyataan ?
Pertanyaan ini lalu sangat mengingatkan saya dengan kata-kata troltovsky * bahwa “ hanya orang-orang egois yang dapat menjelajahi semesta “ . Sepintas frase ini mungkin tidak akan cukup mendapatkan simpati dari anda, tapi lihatlah kebelakang dan sepertinya anda harus mengakui bahwa motivasi yang membuat segala hal (baca ; keinginan) semua orang besar itu mungkin adalah karena mereka punya sekaligus motivasi dan egoisme yang sangat besar.
Suatu kali Alexander pernah dipertanyakan oleh seorang jendralnya kurang lebih seperti ini “ kenapakah yang mulia Alexander masih ingin berperang…. Bukankah kekuasaan kita sudah cukup luas… ? Alexander yang agung itu terdiam cukup lama sebelum menjawab pertanyaan, akan tetapi yang keluar hanya sebuah jawaban pendek “ Karena saya bukan kamu “. Napoleon Jendral besar Prancis itu juga pernah bersikap serupa ketika mengirimkan tentaranya menyerang tsar yang agung di Rusia ketika dia kalah dia hanya menyampaikan sebuah kata pendek. “ ternyata perhitungan saya meleset “ jawaban itu sangat ringan diucapkan.
Itulah mengapa saat ini menjadi wajarlah apa yang dinyatakan lenin bahwa “ kematian satu orang adalah tragedi namun kematian ribuan orang hanyalah sebuah angka statistik “ juga menjadi dapat dipahami keinginan Hitler untuk membuat bangsa Jerman menjadi bangsa unggul dengan memusnahkan 6 juta pesaing utamanya saat itu (bangsa Yahudi.red).
Bagi para pemimpin besar itu wilayah geografis bermil-mil atau negara hanyalah sebuah titik diatas peta, penduduk hanyalah suatu kewajaran dari keberadaan sebuah dunia dan prajurit hanyalah alat untuk mencapai tujuan. Tidak peduli apapun sebuah imperium harus menjadi kenyataan, apapun demi sebuah tujuan. Maka kekuasaan yang membuat mereka tersanjung itu ternyata berasal dari perang yang menyengsarakan penduduk dari setiap jengkal tanah yang mereka lewati. Kebesaran itu terjadi dari derita bertahun-tahun ribuan orang yang kehilangan segalanya dengan kesadaran dan lebih banyak keterpaksaan demi membuat nama-nama itu diingat diseluruh dunia sebagai penakluk yang mendapatkan dan memperoleh apa yang mereka inginkan.
Sudut pandang ini mungkin sangat berbeda menurut anda . Wajar saja… berpikir seperti itu karena ternyata dunia tidak pernah cukup peduli mengangkat sisi ini. Atau karena memang mereka yang tertindas atas semua pencapaian ambisi itu memang tidak pernah atau jangan atau bahkan tidak mampu menempatkan diri mereka untuk diperturutkan dalam sebuah pelajaran sejarah tidak hanya sebagai angka dan batas-batas wilayah. Tetapi juga sebagai sebuah nilai yang punya sudut pandang dan perasaan menilai atas semua pencapaian ambisi kekuasaan itu.
Atas dasar pikiran ini ternyata saya terpaksa kembali harus bermain dengan frase yang lain bahwa adalah benar bila “ sejarah hanya milik para pemenang “ Penjelasan dan contoh yang saya kemukakan ini mungkin terlalu panjang, bahkan mungkin sulit dimengerti dimana sih relevansinya. Tapi ini hanya sebuah cara lain menilai karena saat ini saya merasakan cukup beralasan untuk menyatakan bahwa harus ada keinginan dan ambisi serta rasa ego yang besar untuk mewujudkan apa yang kita inginkan. Dus untuk menjadi lebih bermartabat sepertinya kita harus mampu menjadi sedikit agak brengsek dari nilai-nilai kemanusiaan. Bila tidak anda hanya akan menjadi pecundang yang dilupakan sejarah.
Tentu saja mungkin kalimat-kalimat diatas tidak cukup membawa simpati anda tapi lihatlah kebelakang atau mungkin tataplah kedepan. Bukankah “ Ranggowarsito “ sastrawan Jawa yang edan itu pernah menyatakan bahwa kita hidup dizaman yang edan dan satu-satunya jalan untuk tetap hidup adalah pilihan untuk juga edan, bila kita tidak mau tergilas roda sejarah. Tragis, mungkin kalimat itu akan keluar tapi cobalah jujur dalam nurani anda melihat bahwa ternyata dunia memang brengsek saat ini. Betapa orang dinilai hanya atas apa yang dicapainya, bukan bagaimana dia mencapainya. Bahwa kekuasaan itu lebih penting dari keikhlasan untuk dikuasai. Bahwa penguasa dan kekuasaan, kehormatan dan penghormatan itu lebih penting atas apapun. Dan menjadi ributlah dunia karena ternyata keinginan manusia adalah selalu menjadi yang paling berkuasa atas sebagian yang lain. Menjadi yang lebih dihornati dari pada yang dilecehkan, lalu munculah yang lemah dan yang kuat, yang dihargai dan yang tidak dihargai.
Semakin brengsek karena ternyata ketika ketidakmampuan hadir ditengah ambisi untuk menjadi yang terbaik, manusia dapat mengorbankan apa saja, siapa saja, berbohong, dan bahkan meniadakan integritas kemanusiannya dengan menjadi brengsek dan rela melakukan apa saja demi sebuah posisi, status, kekuasaan, singkatnya pencapaian ambisi. Untuk itulah egonya harus cukup kuat untuk mengalahkan sisi manusiawinya yang menghargai orang lain.
Lihatlah bahwa untuk menjadi doktor atau profesor orang tidak segan untuk mencuri ide dan melakukan plagiatisme ilmiah. Lihatlah untuk menjadi seorang juara orang dapat mengaturnya dengan perencanaan yang matang atas pengaturan dosen, tugas terstruktur bahkan pengawas yang cukup mampu bekerja sama saat ujian. Lihatlah ini semua sebagai pelajaran bahwa ternyata “ anda harus juga menjadi brengsek agar dapat bersaing dengan orang-orang brengsek didunia yang ternyata sangat brengsek ini “ maka sudah ada dua pelajaran untuk menjadi orang besar.
 Pertama anda harus cukup punya ambisi dan ego yang dapat meniadakan sisi manusiawi anda dan
 Kedua anda harus cukup mampu brengsek agar dapat beradaptasi dengan cara-cara brengsek dari dunia yang brengsek.

Dengan begitu pencapaian lebih berarti “kemunafikan yang hebat daripada usaha yang jujur “. Lalu, apakah menjadi orang besar berarti menjadi orang brengsek ? Jelas saja tidak begitu. Masih banyak orang besar yang tidak brengsek, masih banyak pemimpin atau politikus yang tidak perlu sikut-sikutan dan menceburkan orang lain dalam comberan demi sebuah kekuasaan. Masih ada kejujuran ditengah semua kebrengsekan ini. Tapi sebanyak apa ? berapa banyak ? Lord Acton menyatakan bahwa “ Power Attends to Corupt “ maka saya pribadi takut kejujuran-kejujuran dan keikhlasan itu akan terkikis saat kekuasaan ada ditangan kita. Hanya sedikit orang yang mungkin dapat menggunakannya dengan baik dan itu jelas bukan saya atau mungkin anda.
Namun siapa peduli dengan ajaran-ajaran agung itu. Manusia harus siap mengorbankan sesuatu untuk mencapai sesuatu “ everything need to be paid now days “ siap mengorbankan sesuatu adalah cara mendapatkan sesuatu, pertanyaan apakah yang anda akan korbankan… saya sarankan tak perlu terlalu kita pedulikan.
Apalagi tentang keikhlasan dan ketulusan atau perasaan. Untuk menjadi orang besar, mencapai yang anda inginkan, mencapai ambisi, orang harus melupakan keikhlasan dan ketulusan. Mengapa karena anda ada didunia yang sama sekali tidak tulus. Dunia saat ini adalah dunia yang sangat material sementara keikhlasan dan tulus hanya sebuah romantisme yang abstrak. Lihatlah bahwa dunia sama sekali tidak menghargai mereka yang ikhlas dan tulus. Masyarakat tidak dihargai melainkan hanya pada saat sejumlah nilai diperlukan untuk kembali mengangkat penguasa kepada ambisi kekuasaannya. Bahkan Konfisius yang mengajarkan ketulusan itu sendiri diakhir hayatnya meratapi sikapnya tulusnya yang ternyata tak dapat mengubah penguasa untuk mengangkatnya menjadi pejabat kerajaan. Bahkan konfisius tidak cukup tulus dan bermimpi menjadi pejabat kerajaan agar dapat mengajarkan ketulusan itu sendiri. Lalu mengapa anda harus tulus. Jangan pernah ! ! !.
Apalagi ikhlas, Keikhlasan itu hanya bentuk lain dari kepasrahan, alasan pembenar bagi ketidakmampuan melakukan sesuatu. Jangan coba-coba menjadi Ibrahim dan ismail saat ini karena jelas Ibrahim akan dituntut melakukan percobaan pembunuhan walaupun Jibril dihadirkan sebagai saksi. Dunia saat ini tidak akan menggubris kata atas nama tuhan dan nilai Moralitas keagamaan. Lalu mengapakah anda harus ikhlas.
Tentang perasaan apalagi.. anda harus tahu bahwa bila peduli pada perasaannya Shakspeare tidak akan mampu menjelaskan tragedi dalam sebuah epos Romeo dan Juliet yang melegenda, justru karena hidupnya dipenuhi tragedi perasaan dia mampu menjelaskan tragedi dengan sangat baik. Einstein tidak akan menemukan teori relatifitas umum dan khususnya yang mencengangkan itu bila dia mau peduli pada perasaan istri dan anaknya yang selalu ditinggalkannya kedalam ruang bawah tanah laboratoriumnya. Dan bukankah karena perasaan itulah maka banyak pemimpin jatuh dalam jurang kehinaan. Napoleon karena Marionette, Hitler karena Anna Braun, Dinasti Khan yang pernah sangat barbar luluh karena kekaguman pada budi kaum muslimin, akhirnya tersingkir dari kekuasaan yang telah direbutnya dengan berdarah-darah. Tragisnya bahkan menjadi bagian dari apa yang pernah dihancurkannya sendiri dengan memeluk islam.
Maka, bila anda ingin kekuasaan ini lebih lama, pencapaian itu bisa berhasil, anda harus siap mengorbankan perasaan anda, dan nilai anda sebagai manusia. Anda harus siap berkata seperti analogi engels dan marx atas agama bahwa ” Keikhlasan, ketulusan dan perasaan itu candu yang buruk “
Saya tidak sedang ingin mengajarkan sesuatu yang buruk. Karena percayalah anda akan butuh ini untuk bertahan hidup dalam dunia yang brengsek ini, dunia yang tidak tulus ini, dunia yang tidak memberi kesempatan untuk mengikhlaskan sesuatu ini, dunia yang absurd dan menunjukan eksistensinya sebagai dunia, dunia yang hanya menghargai ambisi dan pencapaian tanpa memandang bagaimana mendapatkannya, dunia yang hanya milik para pemenang, dunia para kelas satu bukan nomor dua, apalagi sepuluh, dunia yang menulis sejarahnya dengan mengorbankan sangat banyak hal. Dunia yang membuat kita tidak lagi mampu mengakui kalau kita dapat disebut manusia.
Ini kebenaran karena kenyataan memang seperti ini, maka anda harus memilih. Saya sendiri mungkin tak mampu hidup dengan cara ini, yang dapat saya lakukan hanya mengajarkan sesuatu yang tidak dapat saya lakukan sendiri agar anda tidak menjadi sedemikian konyol dan menjadi pecundang. Ingatlah bahwa ketulusan ,keihklasan dan perasaan itu tinggal menjadi romantisme dan jangan dipedulikan, namun sesekali biarkan dia lewat karena bukankah orang tidak dapat belajar meninggalkan sesuatu bila dia tidak tahu apa itu. Bukankah kita tak dapat mengerti itu salah bila tidak melakukan kesalahan. Maka keikhlasan dan ketulusan dan perasaan itu biarkanlah lewat dan tinggalah hanya menjadi pelajaran salah yang tidak harus diamalkan.
Bentuklah diri anda menjadi bukan manusia, karena manusia sebenarnya sudah tidak pantas hidup ditempat yang anda sebut dunia saat ini. Mungkin menjadi benar kata-kata Syekh Siti jenar bahwa “ Dunia ini neraka dan keabadian sesungguhnya adalah kematian “ dan Nicholo Machaiavelli dengan - I’ll Principe #- seharusnya mendapatkan aplaus saya sejak lama
Ini mungkin hanya sebuah kegamangan, mungkin raungan yang sangat miring dan subjektif tentang pencapaian sesuatu justru karena tidak mampu mencapai sesuatu. Pembenaran ini pada saat yang sama membuat diri sadar sendiri bahwa dari sekarang diri ini harus juga menjadi brengsek. Dan renungan ini hanya kekonyolan yang miring. Bila anda merasa seperti itu, mungkin benar, kita tidak punya telinga yang dapat mendengar kata-kata dibisikan pada nurani kita. Ucapkanlah selamat pada diri sendiri karena kita semua punya potensi untuk menjadi orang besar karena dunia mungkin telah hanya berjalan atas nama Ambisi. Manusia telah berevolusi dan menemukan bentuknya saat ini. Darwin boleh jadi benar akan tetapi tolong ingatkan dia untuk tidak lagi menulis judul buku dengan kata “ Origin of Species “ karena manusia sudah sama sekali tidak origin sebagaimana pertama kali diciptakan Tuhan
Tuhan dengan semua naluri kemanusiaanya yang dihadiahkan pada kita sebenarnya juga mungkin sudah lari. karena Neraka mungkin juga sudah dibom oleh Amerika

“ Lalu kenapa anda tidak bertepuk tangan ??? ! ! ! “

(M Burhanudin B)/@134
(essai ini dibuat hanya
untuk meratapai kekonyolan suatu pendirian )

0 Comments:

Post a Comment

<< Home