metamorfosa_bintang_utara

semua yang hidup bergerak menuju 1 titik. bahkan yang matipun tidak sebenarnya mati.karena hidup selalu ada didepan dan bukan dibelakang maka merisaukan masa lalu semustahil ingin kembali dilahirkan. tapi siapa tahu ? dalam dimensi yang lain ada saat ketika nanti semuanya menuju pada titik dimana kita berawal. karena pada akhirnya ternyata kita hanya kembali ke tempat kita bermula. coz theres nothing certain but uncertainty

Name:
Location: Ambon, Maluku, Indonesia

just read my pieces of mind

Monday, October 22, 2007

kelam padaku

BOLEHKANLAH AKU BERLARI
DALAM SESAL YANG HANGAT PADA KELAM MALAM
BIARKANLAH AKU PERGI
PADA HIDUP KEMARIN YANG ENTAH KENAPA KUBENCI

AKU HANYA DESAU TIPIS YANG MENCOBA MELENGKING KEMUDIAN PATAH
SEDANG DIRIMU ADA DALAM BAYANGAN YANG BAHKAN TAK DAPAT KUGAMBAR
SESAL YANG SENDIRI TERTINGGAL BERLARI
SEDANG AKU MASIH DISINI BERPUTAR DENGAN ROLL YANG KEMARIN

APA DAYAKU PADA DIRI
BILA JANJI BERULANG KUINGKARI
MENGULANG FIKSI DAN JANJI PADA MIMPI
SIALAN AKU BAHKAN TERIKAT PADA RIMA I


KUMPULAN PULANG SAAT FAJAR
DAN AKU MASIH MERATAPI KELAM YANG KUTUMPAHKAN SENDIRI
MALAM TERLALU GELAP PADAKU
FAJAR TAK BERANI KUUNGKAP

AKU SENDIRI TAK BERANI BERKATA
KEMUNAFIKAN INI TERLALU BERAT DIBEBANKAN SETAN
RABB MAAFKAN  AKU........
MASIH BOLEHKAH AKU MENGHIBA AMPUNMU ?

pada bengkaknya hati
yang menyesali diri
m burhanudin (22/10/07)

Thursday, November 30, 2006

KITAB MELAWAN LUPA




Adalah seorang Milan Kundera yang teringat ketika saya hendak menulis tentang lupa. Lupa memang seakan telah hampir diidentikan dengan penulis Cheko ini dalam benak saya. Bukan saja karena sastrawan ini hampir pernah dilupakan oleh bangsanya sendiri setelah sekian lama terasingkan, namun lebih karena dia dapat menegaskan prinsip keterlibatan emosional yang sangat kuat mengenai urusan lupa dan melupakan ini lewat bukunya Kitab Melawan Lupa.
Kundera membicarakan lupa dengan sederhana dan sangat jelas sejak dari judul. Tidak hendak berumit-rumit seperti Nietsche yang berpsiko analisis untuk segala sesuatu atau Marx yang berang dengan betapa orang seringkali lupa akan pertentangan dan realitas sejarah Kundera justru menertawakan sisi humanisme dari sikap lupa dan dengan sangat pintar pada saat yang sama mengingatkan kita semua betapa pentingnya mempertahankan kesadaran. Dia menghimbau dengan mulus tanpa hendak merombak dan merekonstruksi apapun. Pendeknya Kundera menengak beberapa gelas tequila sembari menolak untuk mabuk.
Tapi mengapa lupa dan apa pentingnya membahas Kundera saat ini ? jawaban pertanyaan ini tentu saja dapat bertele-tele, akan tetapi penting dikatakan bahwa jawaban pertanyaan ini mungkin harus kembali kita lihat pada realitas yang ada. Melupakan saat ini memang bukanlah hanya urusan manusiawi, persoalan hukum, sosiologis atau juga politik, dalam beberapa pendapat tertentu melupakan [saat ini] bahkan bisa mengakibatkan kacaunya soliditas sebuah bangsa dan untuk itu harus diendapkan. Itulah mengapa melupakan dan lupa menjadi sesuatu yang penting saat ini untuk dibahas.
Betapa pentingnya lupa dan melupakan ini dapat dilihat pada kasus Soeharto juga pada persoalan pembebasan dari hukum para debitor BLBI beberapa waktu yang lalu yang menuai protes kemudian jangan juga lupakan rilis video penyerangan pentagon beberapa hari kemarin oleh otoritas resmi Amerika Serikat pada saat dukungan terhadap perang memerangi terorisme dan kampanye perang ke Irak jatuh pada titik yang sangat rendah. Semua realitas itu seakan hendak mengingatkan kita kembali pada apa yang telah terjadi dibelakang dan agar kita tidak lekas melupakan. Karena melupakan adalah masalah, sekecil apapun efeknya.
Karena itu memang wajar bila kita membahasnya, mencegahnya bahkan berperang dengan lupa itu. Demikianpun bukankah ingatan yang bagus memang prasyarat untuk sukses dimuka bumi saat ini ? sebut saja dunia pendidikan, pasar ekonomi, bidang sosial budaya, pertahanan keamanan dan juga seks, semuanya membutuhkan ingatan yang kuat untuk berhasil dan untuk itu memang tidak ada keraguan. Dari kesimpulan awal inilah sebagai bangsa [Indonesia] kita berangkat untuk bertanya pada diri sendiri terhadap apa yang telah kita lakukan dengan lupa itu ?
Sebagai bangsa memang banyak yang berpendapat bahwa ingatan kolektif kita tidak sangat bagus bahkan cenderung buruk terhadap apa yang telah kita alami. Ada peristiwa pemberontakan PKI yang terjadi dua kali, kerusuhan SARA yang terjadi dua tempat berbeda dengan eskalasi yang sangat tinggi, juga dua zaman rezim birokrasi yang berkuasa sangat lama. Lalu jangan juga lupakan edy tansil, kasus BLBI dan pembobolan BNI dan Bank Mandiri. Semua itu adalah contoh sikap lupa kita yang menimbulkan masalah berulang-ulang.
Persoalan lemahnya pendidikan, kultur psikologis yang feodal paternalistis dan juga mungkin emosi yang meluap namun cepat terpuaskan adalah sekian alasan-alasan yang dapat diketengahkan sebagai sebab kenapa kita masih berada pada bab yang sama dalam buku sejarah. Kita memang mengalami ejakulasi dini ingatan yang akut dan membutuhkan pertolongan yang sangat serius. Maka mungkin benar bahwa mengingat adalah penting sedangkan melupakan adalah laten yang senantiasa harus diawasi.
Kita tentu saja ingin berubah dan memang telah mempersiapkan seperangkat system yang bila perlu dapat mencubit dan menempeleng kita untuk mengingatkan agar kita tidak kelihatan terlampau goblok. Kita menguatkan fungsi pers, membebaskan kebebasan berpendapat, memproduksi aturan dan tata tertib. Pendeknya kita memperkuat demokrasi sebagai system untuk melawan lupa itu, dan bila dibandingkan bertahun-tahun lalu kita memang telah lebih bisa mengingat, menuntut janji serta mempertahankan prinsip dari apa-apa yang pernah kita hadapi dan ini tentu perkembangan yang berarti dan menuju kebaikan.
Akan tetapi ternyata itu saja tidak cukup karena ditengah ingatan kolektif yang sudah membaik ini kita kembali dihadapkan pada persoalan pelik yang tentu saja bersentuhan kembali dengan persoalan lupa melupa. Persoalan itu tidak lain adalah mengenai Pak Harto.
Saat demokrasi membuat ingatan kita menjadi sensitif dan kuat ternyata lepas dari persoalan-persoalan pertimbangan hukum dan medis juga politik ada sempalan perasaan pada sebagian orang yang seakan ingin membuat kita melepaskan diri dari kemelut yang tidak selesai mengenai mantan orang besar ini. hukum memang tidak bicara tentang perasaan namun bukan berarti demokrasi juga tak perlu membahasnya bukan ?
Kita tentu tidak tergesa-gesa mengambil kesimpulan bahwa reformasi dan demokrasi telah gagal karena sebagian dari kita seakan-akan melupakan setumpuk kesalahan yang ada didepan. Karenanya memang perlu untuk membuka kembali kitab melawan lupa dan membaca berbagai kesalahan mantan orang besar ini. Masalahnya adalah pada saat yang sama dihalaman yang lain kitab itu juga ternyata bercerita tentang betapa ada jasa besar presiden kedua kita ini untuk bangsa selama 32 tahun kepemimpinannya. Memang benar bahwa tidak ada yang selalu baik dan terlalu buruk bila kita melihat dari sudut-sudut pandang yang berbeda namun tetap saja orang bertanya setelah delapan tahun reformasi apakah kita telah lupa pada apa yang dulu pernah kita teriakan ?
Tentu saja banyak dari kita tidak lupa pada apa yang terjadi sekian tahun yang lalu toh kita terus diingatkan tiap tahun. Beberapa dari kita bahkan mungkin menjadi bagian dari proses tersebut. Tapi mungkin kita sudah capek, melihat keadaan yang tidak menjadi makin lebih baik, mungkin juga bosan melihat kehormatan hilang dari bangsa ini, atau mungkin kita menganggap bahwa membakar ban dan berteriak dijalan bukan lagi satu-satunya cara berjuang karena saluran sudah dibuka walaupun terkadang mampet dan perlu diperiksa. Toh demokrasi memang membolehkan kita untuk berbeda pendapat.
Mempunyai ingatan yang baik memang adalah prestasi dan sebagai bangsa kita memang tidak boleh gampang melupakan namun lupa juga bukan sebuah dosa yang tidak termaafkan bukan ? Kita tentu tidak ingin mengingat dendam sementara terkadang lupa bahwa cinta seharusnya dapat mengatasi semua kesalahan. Kita tidak seharusnya melupakan bahwa lupa itu perlu untuk mengatasi dendam juga penting untuk menghancurkan keangkuhan dan selanjutnya mampu memaafkan. Tentu saja memaafkan bukan berarti kita memaklumkan kesalahan tidak juga untuk permisif tapi lebih untuk membuat kita belajar untuk malu berbuat salah dan segan mengulang kesalahan yang sama. Kecuali bila kita telah sedemikian tidak percaya dengan kualitas kemanusiaan orang lain dan menganggap mereka sebatu kita sendiri.
Terkadang kita memang perlu mengingat kesalahan namun bukan berarti kita harus menggunakan dendam sebagai bahan bakar dan atau memagari ingatan kesalahan tersebut dengan keangkuhan sebagai pagar batasnya. Ingatan itu tidak harus seperti matematika yang kelihatannya pasti padahal sebenarnya cuma kompromi dan cuma berguna bila diakumulasikan dengan sekian jumlah lain. Artinya kita memang tidak perlu menjumlahkan dendam dengan dendam karena hasilnya mungkin juga tidak lebih baik dari kompromi.
Begitupun ketika ingatan teramat kuat, terkadang kita lupa bahwa sejarahpun ditulis dengan menutupi sebagian fakta yang lain, maka ketika kita mengingat yang kita ingat sebenarnya adalah sebagian fakta dan sebagian lagi kebohongan. Pada titik ini kita mungkin perlu menyesali apa gunanya ingatan dan tak perlu melatenkan lupa sedemikian dahsyat sebagai dosa.
Melupakan memang tak pernah baik, namun ada baiknya kita juga ingat bahwa tidak setiap yang jelek tidak berguna. Sesekali kita memang perlu berkata pada diri sendiri tentang betapa semua orang pernah berbuat salah dan indahnya melupakan mimpi buruk. Kita semua tak perlu buta, tidak perlu goblok namun juga jangan bebal.
Seorang kanselir jerman dasawarsa yang lalu dalam perayaan pendaratan sekutu dipantai Normandia berkata “ all of us whether old or young., whether right or wrong must accept the past. Anyone who not accept the past is guilty to the present and anyone who guilty to the present is blind to the future. Mari kita sejenak terdiam merenungkannya, setelah itu tentu saja kita tetap boleh berdebat namun mungkin tanpa harus kelihatan urat karena bahkan sang Milan Kundera (penulis Kitab Melawan Lupa) itupun, suatu saat kembali kenegerinya dan lupa betapa orang-orang yang kini menyambutnya sebagai sastrawan besar, adalah mereka yang pernah membuatnya ikut terasingkan sekian lama.

[ Muh Burhanudin B ]
Seorang pelupa kronis

Thursday, November 09, 2006

Merenungi KekonyoLAN

Anda juga Boleh Membacanya ?
Apakah ini sebuah renungan atau hanya ……. ?

Alexander The Great pada waktunya adalah seorang Maharaja dengan kekuasaan membentang dari eropa tengah hingga asia selatan. Jengis Khan dan anak-anaknya juga tak kalah memiliki bentang kekuasaan yang hampir serupa. Juga jangan lupakan kekaisaran romawi, persia atau Lenin, Hitler dan Mao Tse tung. Juga jangan lupakan imperium Majapahit dengan Gajah Mada sebagai iconnya untuk sebuah contoh lokal yang tak kalah memiliki bentang kekuasaan yang tak kalah luas. Amerika (“ sebagai suatu Bangsa “) saat ini juga dapat menjadi contoh kontemporer.

Saya sama sekali tidak sedang menawarkan pelajaran sejarah yang ternyata sangat gampang dimanipulasi bahkan terkadang begitu absurd untuk jadi patokan. Penggalan paragraf diatas hanya sebuah penggambaran dari prolog yang saya inginkan dapat memperkenalkan, betapa sejarah telah menempatkan manusia-manusia diatas sebagai orang-orang besar. Alexander bahkan mendapatkan kebesaran itu sendiri sebagai bagian dari namanya.
Sejarah memang menempatkan mereka dengan pujian dan sanjungan atas apa yang telah mereka capai. Bagaimanapun membentangkan kekuasaan dari ujung benua ke ujung benua atau dari suatu tempat ketempat yang lain dalam ukuran teritorial yang sangat luas bukanlah suatu pekerjaan yang gampang. “ Maha sulit “ bahkan saya berpikir hampir tidak mungkin (untuk saya), Lalu bagaimana mereka bisa melakukannya ?, Apa yang mereka miliki hingga membuat mereka dapat melakukan semua ketidakmungkinan itu tidak hanya menjadi mungkin akan tetapi menjadi kenyataan ?
Pertanyaan ini lalu sangat mengingatkan saya dengan kata-kata troltovsky * bahwa “ hanya orang-orang egois yang dapat menjelajahi semesta “ . Sepintas frase ini mungkin tidak akan cukup mendapatkan simpati dari anda, tapi lihatlah kebelakang dan sepertinya anda harus mengakui bahwa motivasi yang membuat segala hal (baca ; keinginan) semua orang besar itu mungkin adalah karena mereka punya sekaligus motivasi dan egoisme yang sangat besar.
Suatu kali Alexander pernah dipertanyakan oleh seorang jendralnya kurang lebih seperti ini “ kenapakah yang mulia Alexander masih ingin berperang…. Bukankah kekuasaan kita sudah cukup luas… ? Alexander yang agung itu terdiam cukup lama sebelum menjawab pertanyaan, akan tetapi yang keluar hanya sebuah jawaban pendek “ Karena saya bukan kamu “. Napoleon Jendral besar Prancis itu juga pernah bersikap serupa ketika mengirimkan tentaranya menyerang tsar yang agung di Rusia ketika dia kalah dia hanya menyampaikan sebuah kata pendek. “ ternyata perhitungan saya meleset “ jawaban itu sangat ringan diucapkan.
Itulah mengapa saat ini menjadi wajarlah apa yang dinyatakan lenin bahwa “ kematian satu orang adalah tragedi namun kematian ribuan orang hanyalah sebuah angka statistik “ juga menjadi dapat dipahami keinginan Hitler untuk membuat bangsa Jerman menjadi bangsa unggul dengan memusnahkan 6 juta pesaing utamanya saat itu (bangsa Yahudi.red).
Bagi para pemimpin besar itu wilayah geografis bermil-mil atau negara hanyalah sebuah titik diatas peta, penduduk hanyalah suatu kewajaran dari keberadaan sebuah dunia dan prajurit hanyalah alat untuk mencapai tujuan. Tidak peduli apapun sebuah imperium harus menjadi kenyataan, apapun demi sebuah tujuan. Maka kekuasaan yang membuat mereka tersanjung itu ternyata berasal dari perang yang menyengsarakan penduduk dari setiap jengkal tanah yang mereka lewati. Kebesaran itu terjadi dari derita bertahun-tahun ribuan orang yang kehilangan segalanya dengan kesadaran dan lebih banyak keterpaksaan demi membuat nama-nama itu diingat diseluruh dunia sebagai penakluk yang mendapatkan dan memperoleh apa yang mereka inginkan.
Sudut pandang ini mungkin sangat berbeda menurut anda . Wajar saja… berpikir seperti itu karena ternyata dunia tidak pernah cukup peduli mengangkat sisi ini. Atau karena memang mereka yang tertindas atas semua pencapaian ambisi itu memang tidak pernah atau jangan atau bahkan tidak mampu menempatkan diri mereka untuk diperturutkan dalam sebuah pelajaran sejarah tidak hanya sebagai angka dan batas-batas wilayah. Tetapi juga sebagai sebuah nilai yang punya sudut pandang dan perasaan menilai atas semua pencapaian ambisi kekuasaan itu.
Atas dasar pikiran ini ternyata saya terpaksa kembali harus bermain dengan frase yang lain bahwa adalah benar bila “ sejarah hanya milik para pemenang “ Penjelasan dan contoh yang saya kemukakan ini mungkin terlalu panjang, bahkan mungkin sulit dimengerti dimana sih relevansinya. Tapi ini hanya sebuah cara lain menilai karena saat ini saya merasakan cukup beralasan untuk menyatakan bahwa harus ada keinginan dan ambisi serta rasa ego yang besar untuk mewujudkan apa yang kita inginkan. Dus untuk menjadi lebih bermartabat sepertinya kita harus mampu menjadi sedikit agak brengsek dari nilai-nilai kemanusiaan. Bila tidak anda hanya akan menjadi pecundang yang dilupakan sejarah.
Tentu saja mungkin kalimat-kalimat diatas tidak cukup membawa simpati anda tapi lihatlah kebelakang atau mungkin tataplah kedepan. Bukankah “ Ranggowarsito “ sastrawan Jawa yang edan itu pernah menyatakan bahwa kita hidup dizaman yang edan dan satu-satunya jalan untuk tetap hidup adalah pilihan untuk juga edan, bila kita tidak mau tergilas roda sejarah. Tragis, mungkin kalimat itu akan keluar tapi cobalah jujur dalam nurani anda melihat bahwa ternyata dunia memang brengsek saat ini. Betapa orang dinilai hanya atas apa yang dicapainya, bukan bagaimana dia mencapainya. Bahwa kekuasaan itu lebih penting dari keikhlasan untuk dikuasai. Bahwa penguasa dan kekuasaan, kehormatan dan penghormatan itu lebih penting atas apapun. Dan menjadi ributlah dunia karena ternyata keinginan manusia adalah selalu menjadi yang paling berkuasa atas sebagian yang lain. Menjadi yang lebih dihornati dari pada yang dilecehkan, lalu munculah yang lemah dan yang kuat, yang dihargai dan yang tidak dihargai.
Semakin brengsek karena ternyata ketika ketidakmampuan hadir ditengah ambisi untuk menjadi yang terbaik, manusia dapat mengorbankan apa saja, siapa saja, berbohong, dan bahkan meniadakan integritas kemanusiannya dengan menjadi brengsek dan rela melakukan apa saja demi sebuah posisi, status, kekuasaan, singkatnya pencapaian ambisi. Untuk itulah egonya harus cukup kuat untuk mengalahkan sisi manusiawinya yang menghargai orang lain.
Lihatlah bahwa untuk menjadi doktor atau profesor orang tidak segan untuk mencuri ide dan melakukan plagiatisme ilmiah. Lihatlah untuk menjadi seorang juara orang dapat mengaturnya dengan perencanaan yang matang atas pengaturan dosen, tugas terstruktur bahkan pengawas yang cukup mampu bekerja sama saat ujian. Lihatlah ini semua sebagai pelajaran bahwa ternyata “ anda harus juga menjadi brengsek agar dapat bersaing dengan orang-orang brengsek didunia yang ternyata sangat brengsek ini “ maka sudah ada dua pelajaran untuk menjadi orang besar.
 Pertama anda harus cukup punya ambisi dan ego yang dapat meniadakan sisi manusiawi anda dan
 Kedua anda harus cukup mampu brengsek agar dapat beradaptasi dengan cara-cara brengsek dari dunia yang brengsek.

Dengan begitu pencapaian lebih berarti “kemunafikan yang hebat daripada usaha yang jujur “. Lalu, apakah menjadi orang besar berarti menjadi orang brengsek ? Jelas saja tidak begitu. Masih banyak orang besar yang tidak brengsek, masih banyak pemimpin atau politikus yang tidak perlu sikut-sikutan dan menceburkan orang lain dalam comberan demi sebuah kekuasaan. Masih ada kejujuran ditengah semua kebrengsekan ini. Tapi sebanyak apa ? berapa banyak ? Lord Acton menyatakan bahwa “ Power Attends to Corupt “ maka saya pribadi takut kejujuran-kejujuran dan keikhlasan itu akan terkikis saat kekuasaan ada ditangan kita. Hanya sedikit orang yang mungkin dapat menggunakannya dengan baik dan itu jelas bukan saya atau mungkin anda.
Namun siapa peduli dengan ajaran-ajaran agung itu. Manusia harus siap mengorbankan sesuatu untuk mencapai sesuatu “ everything need to be paid now days “ siap mengorbankan sesuatu adalah cara mendapatkan sesuatu, pertanyaan apakah yang anda akan korbankan… saya sarankan tak perlu terlalu kita pedulikan.
Apalagi tentang keikhlasan dan ketulusan atau perasaan. Untuk menjadi orang besar, mencapai yang anda inginkan, mencapai ambisi, orang harus melupakan keikhlasan dan ketulusan. Mengapa karena anda ada didunia yang sama sekali tidak tulus. Dunia saat ini adalah dunia yang sangat material sementara keikhlasan dan tulus hanya sebuah romantisme yang abstrak. Lihatlah bahwa dunia sama sekali tidak menghargai mereka yang ikhlas dan tulus. Masyarakat tidak dihargai melainkan hanya pada saat sejumlah nilai diperlukan untuk kembali mengangkat penguasa kepada ambisi kekuasaannya. Bahkan Konfisius yang mengajarkan ketulusan itu sendiri diakhir hayatnya meratapi sikapnya tulusnya yang ternyata tak dapat mengubah penguasa untuk mengangkatnya menjadi pejabat kerajaan. Bahkan konfisius tidak cukup tulus dan bermimpi menjadi pejabat kerajaan agar dapat mengajarkan ketulusan itu sendiri. Lalu mengapa anda harus tulus. Jangan pernah ! ! !.
Apalagi ikhlas, Keikhlasan itu hanya bentuk lain dari kepasrahan, alasan pembenar bagi ketidakmampuan melakukan sesuatu. Jangan coba-coba menjadi Ibrahim dan ismail saat ini karena jelas Ibrahim akan dituntut melakukan percobaan pembunuhan walaupun Jibril dihadirkan sebagai saksi. Dunia saat ini tidak akan menggubris kata atas nama tuhan dan nilai Moralitas keagamaan. Lalu mengapakah anda harus ikhlas.
Tentang perasaan apalagi.. anda harus tahu bahwa bila peduli pada perasaannya Shakspeare tidak akan mampu menjelaskan tragedi dalam sebuah epos Romeo dan Juliet yang melegenda, justru karena hidupnya dipenuhi tragedi perasaan dia mampu menjelaskan tragedi dengan sangat baik. Einstein tidak akan menemukan teori relatifitas umum dan khususnya yang mencengangkan itu bila dia mau peduli pada perasaan istri dan anaknya yang selalu ditinggalkannya kedalam ruang bawah tanah laboratoriumnya. Dan bukankah karena perasaan itulah maka banyak pemimpin jatuh dalam jurang kehinaan. Napoleon karena Marionette, Hitler karena Anna Braun, Dinasti Khan yang pernah sangat barbar luluh karena kekaguman pada budi kaum muslimin, akhirnya tersingkir dari kekuasaan yang telah direbutnya dengan berdarah-darah. Tragisnya bahkan menjadi bagian dari apa yang pernah dihancurkannya sendiri dengan memeluk islam.
Maka, bila anda ingin kekuasaan ini lebih lama, pencapaian itu bisa berhasil, anda harus siap mengorbankan perasaan anda, dan nilai anda sebagai manusia. Anda harus siap berkata seperti analogi engels dan marx atas agama bahwa ” Keikhlasan, ketulusan dan perasaan itu candu yang buruk “
Saya tidak sedang ingin mengajarkan sesuatu yang buruk. Karena percayalah anda akan butuh ini untuk bertahan hidup dalam dunia yang brengsek ini, dunia yang tidak tulus ini, dunia yang tidak memberi kesempatan untuk mengikhlaskan sesuatu ini, dunia yang absurd dan menunjukan eksistensinya sebagai dunia, dunia yang hanya menghargai ambisi dan pencapaian tanpa memandang bagaimana mendapatkannya, dunia yang hanya milik para pemenang, dunia para kelas satu bukan nomor dua, apalagi sepuluh, dunia yang menulis sejarahnya dengan mengorbankan sangat banyak hal. Dunia yang membuat kita tidak lagi mampu mengakui kalau kita dapat disebut manusia.
Ini kebenaran karena kenyataan memang seperti ini, maka anda harus memilih. Saya sendiri mungkin tak mampu hidup dengan cara ini, yang dapat saya lakukan hanya mengajarkan sesuatu yang tidak dapat saya lakukan sendiri agar anda tidak menjadi sedemikian konyol dan menjadi pecundang. Ingatlah bahwa ketulusan ,keihklasan dan perasaan itu tinggal menjadi romantisme dan jangan dipedulikan, namun sesekali biarkan dia lewat karena bukankah orang tidak dapat belajar meninggalkan sesuatu bila dia tidak tahu apa itu. Bukankah kita tak dapat mengerti itu salah bila tidak melakukan kesalahan. Maka keikhlasan dan ketulusan dan perasaan itu biarkanlah lewat dan tinggalah hanya menjadi pelajaran salah yang tidak harus diamalkan.
Bentuklah diri anda menjadi bukan manusia, karena manusia sebenarnya sudah tidak pantas hidup ditempat yang anda sebut dunia saat ini. Mungkin menjadi benar kata-kata Syekh Siti jenar bahwa “ Dunia ini neraka dan keabadian sesungguhnya adalah kematian “ dan Nicholo Machaiavelli dengan - I’ll Principe #- seharusnya mendapatkan aplaus saya sejak lama
Ini mungkin hanya sebuah kegamangan, mungkin raungan yang sangat miring dan subjektif tentang pencapaian sesuatu justru karena tidak mampu mencapai sesuatu. Pembenaran ini pada saat yang sama membuat diri sadar sendiri bahwa dari sekarang diri ini harus juga menjadi brengsek. Dan renungan ini hanya kekonyolan yang miring. Bila anda merasa seperti itu, mungkin benar, kita tidak punya telinga yang dapat mendengar kata-kata dibisikan pada nurani kita. Ucapkanlah selamat pada diri sendiri karena kita semua punya potensi untuk menjadi orang besar karena dunia mungkin telah hanya berjalan atas nama Ambisi. Manusia telah berevolusi dan menemukan bentuknya saat ini. Darwin boleh jadi benar akan tetapi tolong ingatkan dia untuk tidak lagi menulis judul buku dengan kata “ Origin of Species “ karena manusia sudah sama sekali tidak origin sebagaimana pertama kali diciptakan Tuhan
Tuhan dengan semua naluri kemanusiaanya yang dihadiahkan pada kita sebenarnya juga mungkin sudah lari. karena Neraka mungkin juga sudah dibom oleh Amerika

“ Lalu kenapa anda tidak bertepuk tangan ??? ! ! ! “

(M Burhanudin B)/@134
(essai ini dibuat hanya
untuk meratapai kekonyolan suatu pendirian )

Wednesday, November 08, 2006

Bagaimana Mengenal Diri Sendiri ?



bagaimana mengenal diri sendiri ?

itu mungkin hal yang paling tidak pernah kita sadari, juga seringkali kita nafikan saat orang bertanya atau saat kita berhadapan dengan kolom yang memerintahkan kita untuk menggambarkan manusia seperti apakah kita ini. banyak dari kita yang dapat dengan sangat yakin menggambarkan dirinya sendiri tapi tidak sedkit orang yang juga bingung untuk menggambarkan seperti apakah dirinya. termasuk saya

sebuah cermin memang tidak pernah dapat menilai dirinya sendiri. cermin hanyalah refleksi dari cahaya yang datang dan menimpa objek. Kita dengan demikian hanya kesadaran yang melangkahi mesin waktu dan merefleksikan apa yang ada disekitar kita. Diri kita adalah cermin dari kehidupan kita, lingkungan tempat tinggal kita, teman-teman kita, agama kita atau bahkan kesukaan-kesukaan kita terhadap musik, film dan atau buku.

jadi siapakah kita ?
apakah kita ?
dan hendak kemana kita ?

pertanyaan-pertanyaan seperti ini akan tetap jadi pertanyaan bila kita tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkan jawaban. bahkan walaupun kita mungkin tahu apa yang kita inginkan kesadaran terhadap keberadaan diri tidak pernah akan menjadi berarti bila kita tidak pernah punya cukup keberanian diri untuk berkata dan memutuskan seperti apakah kita dihadapan diri kita sendiri. dan inilah yang kami hadapi orang-orang katakanlahsemi introvert yang punya sindrom inferiority complex yang ga bisa dibilang besar namun mungkin cukup signifikan.

yang dapat kita lakukan ketika tidak dapat menjelaskan sesuatu memang mungkin hanya lari dan bersembunyi pada sekian alasan-alasan pembenar, justru pada saat yang sama ketika kitapun tahu bahwa kebenaran memang hanya tertulis dilangit dan kebenaran semua perkataan diluar itu mungkin sangat relatif.

siapakah kita, hingga saat ini akupun belum dapat menjawabnya. mungkin saja saya tidak cukup berani untuk memutuskan, namun lebih dari itu mungkin juga karena saya cuma xermin yang hanya merefleksikan sesuatu. atau mungkin saya tidak cukup narcis untuk memuji diri saya sendiri.

Aku hanya ilalang dihamparan hening
Berselimutkan tanah mengering

Diriku cuma sebentuk nama
Berlari tanpa makna menangisi rinai hujan

Dentingku desau angin
Kemudian hening tipis pada selaput dinding
Yang kubisa cuma menari tanpa berlari

Namaku tanpa kata
Bunyi tanpa nada
Harmoni yang tanpa suara
Cuma kehadiran yang hampa

Bila mungkin ingin kebentuk dunia
Dimana massa ruang tak berwaktu
Melarikan diri dalam bayangan
Luruh, tenggelam lalu menghilang

tapi aku Cuma ilalang….
Dan ilalang sebentar menguning
Lalu terbang menghilang

Takdirku adalah hampa
Nilaiku bukan bilangan
Cuma kekosongan yang ada

Karena aku cuma ilalang
Dan ilalang tak berkata
walau bernama namun tanpa makna

@134 - M13_b
[ selimut tipis bimbang saat keraguan datang ]

Monday, October 30, 2006

Catatan seorang Penonton [ Demonstran ]




Soe Hok gie
& Catatan “ Seorang Penonton Demonstran “





- Sekarang aku berpikir, sampai dimana seseorang masih tetap wajar, walau ia sendiri tidak mendapatkan apa-apa. Seseorang mau berkorban buat sesuatu, katakanlah ide-ide, agama, politik atau pacarnya tapi dapatkah seseorang berkorban tidak untuk apa-apa. Aku sekarang sedang terlibat dalam pemikiran ini sangat pesimis dan hope for nothing -

(Soe Hok Gie)


Berkorban tidak untuk apa-apa. Frase ini sempat membingungkan. Begitu membingungkannya hinga hampir saja saya menabrak kios jajanan yang ada dipinggir jalan akibat memikirkannya.
Berkorban sebagai perbuatan, adalah hasil interaksi pikiran, keinginan dengan syaraf-syaraf otak yang kemudian diteruskan pada syaraf motorik secara riil dalam konteks fisik. Namun lebih dari itu berkorban (selanjutnya disebut perbuatan atau berbuat sesuatu) tidak hanya sekedar sebuah konsep fisik. Karena terkadang yang namanya perbuatan juga adalah sebuah konsep yang abstrak. Bila yang namanya ide pun kita kalkulasi sebagai perbuatan. Bagi saya, entah apakah ini salah atau tidak. Yang namanya perbuatan adalah determinasi dari sikap seseorang, sedangkan sikap itu sendiri adalah perbuatan akal yang ada karena proses berpikir. Disinilah segala sesuatu berasal dan kemudian eksis. Sebagaimana apa yang dinyatakan oleh Descartes “ Corgito Ergo Sum “.

Apa yang disampaikan oleh Gie menjadi mustahil bagi saya karena perbuatan yang awalnya ada dalam korteks pikiran itu tak bisa dielakan akan selalu berinteraksi dengan nilai dan ide. Seseorang melakukan tindakan karena keberadaan nilai dan ide itu. Katakanlah orang dapat berbuat tidak untuk agama, politik, pacarnya juga idiologi atau mungkin untuk keuntungan ekonomi. Tapi dapatkah seseorang berbuat tidak untuk ide ? saya rasa pasti tidak. Karena bahkan ikhlas dan tulus itu sendiri adalah “ ide “ . Lebih dari itu manusia tidak dapat lepas dari nilai-nilai. Bila tidak untuk agama, atau ekonomi seseorang pasti berbuat untuk idiologi, sedangkan bila tidak untuk kepercayaannya seseorang sangat mungkin berkorban untuk yang namanya pacar atau cinta. Singkatnya tanpa nilai tak ada yang namanya tindakan.

Kemudian tidak itu saja, karena terkadang bahkan yang namanya tindakan dan pengorbanan dengan dasar yang ideal, juga dapat dibungkus dengan nilai yang sebenarnya hanya hipokritas. Gie kemudian saya sadari sebenarnya tidak ingin mempertanyakan pikiran diatas secara absolut. Seorang gie hanya ingin mempertanyakan kejujuran perbuatan dan dasar bertindak kita semua atas hal-hal yang kita “ perjuangkan “ dan konteks kalimat itu memang tentu saja lintas waktu, karena yang namanya kemunafikan memang bagian dari sejarah manusia. Pikiran dan kata-kata gie diatas sangat mungkin adalah hanya bentuk kekecawaannya terhadap perjuangan dan pergerakan yang dilakukan, didalaminya, juga disaksikannya. Sebagaimana suatu saat yang lain dia juga pernah berucap “ Sebagian dari pemimpin-pemimpin KAMI adalah maling juga, mereka korupsi, mereka berebut kursi, ribut-ribut pesan mobil dan tukang kecap pula.

* * *
Perjuangan dan pergerakan sebagaimana sejarah itu sendiri, memang adalah ulangan, namun pada ulangan-ulangan itulah seringkali sebuah perjuangan tidak lagi menjadi perjuangan melainkan hanya kemunafikan, bahkan lelucon. Sebagaimana kata Marx , akhirnya pada ending, perjuangan hanya melahirkan maling.

Mereka yang memberangus maling-maling tua dengan segera kemudian menjadi maling baru.
Bagaimana hal ini bisa terjadi ?

Pada awal perjuangan semua orang digerakan melakukan sesuatu untuk nilai-nilai yang dipercayai, idiologi, agama, kemanusian, keadilan bla… bla…. bla…. bla, hanya saja masalahnya, semua nilai itu sangat ideal bahkan terkadang sangat utopis hingga sulit dilakukan dalam waktu yang singkat dan konsistensi kemudian menjadi sebuah masalah baru ditengah begitu banyak godaan dalam pergerakan. Polarisasi gerakan juga memecahkan kolektifitas perjuangan atas cita-cita dasar yang pada awalnya dianggap sama oleh banyak kelompok dan membuat bargaining perjuangan akhirnya menjadi pecah dan rapuh. Selain itu munculnya tokoh-tokoh dalam pergerakan membuat perjuangan kehilangan pegangan nilai kolektifitasnya. Pergerakan dan perjuangan dengan sendirinya menjadi identik dengan tokoh ini dan tokoh itu sehingga konsep perjuangan dan kepentingan menjadi tidak jelas. Seringkali bahkan pergerakan dan perjuangan ide tidak hanya menjadi alat kepentingan (baca; tunggangan) tokoh pergerakan saja, namun lebih dari itu juga menjadi instrumen politik dan ekonomi kepentingan orang lain (dengan tidak sadar ataupun melalui persundalan kesadaran). Pergerakan dan perjuangan kemudian hanya menjadi ajang tunggang menunggang, saling cibir, sebelum akhirnya saling jungkal-menjungkal. Perjuanganpun akhirnya harus mati muda, layaknya bunga yang terinjak tapak demonstran pada taman rumah seorang koruptor. Pemandangan yang sangat memiriskan hati, bahkan pada orang-orang yang hanya menjadi penonton dalam perjuangan dan pergerakan dalam replikasi idenya yang paling fisik seperti demonstrasi.

Hari-hari ini kita memang, sedang menyaksikan ulangan sejarah ketika uang dan materi yang pada awalnya adalah supporting instrument bagi pergerakan dan perjuangan kemudian mengambil tempat ide dan nilai-nilai perjuangan para pejuang-pejuang muda kita. Betapa polarisasi tokoh yang mau tak mau harus terjadi dalam perjuangan kolektif pada akhirnya menghancurkan nilai, ide, tujuan aktifitas pergerakan dan perjuangan bahkan kolektifitas itu sendiri. Sesuatu yang membuat kita tertunduk malu pada kata-kata gie bahwa “Kita, generasi kita ditugaskan untuk memberantas generasi-generasi tua yang mengacau. Generasi kita yang menjadi hakim atas mereka yang dituduh koruptor-koruptor tua. Kitalah yang dijadikan generasi yang akan memakmurkan indonesia !! “

Sesuatu yang membuat kita bertanya, lalu apa jadinya masa depan
bila sejarah kemudian hanya melahirkan lelucon-lelucon yang sarkas ?

Tentu saja kita tidak sedang dengan sangat utopis dan munafik bermimpi bahwa yang namanya sokongan-sokongan kebutuhan hidup seperti uang bahkan juga popularitas harus dinafikan oleh semua orang yang menghambakan dirinya pada jalan perjuangan sementara kita sendiri sedang dengan sangat giat berkubang dalam pencarian materi dan ikut bermimpi untuk populer. Ya,…karena manusia tetaplah manusia yang pokok hidupnya sebenarnya berputar pada urusan-urusan kebutuhan atas segala macam hal.

Karena kebutuhan itulah maka manusia (sebaiknya dibaca: para tokoh pergerakan) melakukan sesuatu, belajar, menganalisa, bernegosiasi, memaki, mencuri bahkan membunuh dan makan teman sendiri. Dan karena itulah juga sekian penegasan lain akan hadir dibelakang membela kebingungan atas frase “ melakukan sesuatu tidak untuk apa-apa ” itu.

Memiliki kepentingan dalam perbuatan sebagaimana telah ditegaskan diatas adalah sesuatu yang sangat lumrah dan manusiawi sehingga sebenarnya hal itu tak perlu menjadi kebingungan atau persoalan bila kita mau secara jujur mengakui dan mengkomunikasikannya secara adil terhadap kesadaran kita untuk berbuat sesuatu, tentu saja dengan tetap berpegang pada PRINSIP dan KOMITMEN dengan huruf KAPITAL. Dengan begitu melakukan sesuatu untuk sesuatu menjadi tidak mengapa, asalkan ketika kita melakukan sesuatu untuk agama kita juga melakukannya untuk cinta sehingga tak perlu ada terorisme. Ketika kita melakukan sesuatu untuk ekonomi kita mendasarinya untuk agama sehingga kita tidak korupsi, ketika melakukan sesuatu untuk kebebasan dan demokrasi kita melakukannya dengan tanggung jawab sehingga tak ada anarkisme atau democrazy dan ketika melakukan sesuatu untuk perjuangan dan perubahan kita tidak cuma menuntut namun juga memberi solusi sehingga upaya kita tidak cuma NATO .

Hal ini harus ditegaskan, karena hanya dengan beginilah kita bisa berharap pada segelintir pejuang-pejuang muda yang sampai hari ini masih bertahan dan siap berkorban untuk idealisme dan nilai-nilai yang dipercayainya. Kita tentu saja berharap para pejuang-pejuang muda kita tidak terlalu cenderung menjadi manusia-manusia muda yang seringkali terlalu cepat mengambil kesimpulan, menyumpah, mencibir, melecehkan, serta terpengaruh dengan begitu banyak godaan perjuangan. Kita bermimpi suatu saat kata-kata Marx diatas tidak perlu terus berulang sehingga dia akan menertawakan kita dengan leluconnya yang sebenarnya sama sekali tidak lucu melainkan satir.

Akhirnya bagaimana masa depan memang tidak dapat kita pastikan !!!

Seseorang pernah berkata “ all of us whether guilty or not, whether old or young must accept the past, anyone who close his eyes to the past is blind to the present “ . Agaknya kita hanya perlu menatap kebelakang sebentar untuk berjalan kedepan dan belajar untuk tidak jatuh pada lubang yang sama untuk kesekian yang lebih dari dua kali.

Pada akhirnya memang sejarah yang akan memutuskan bagaimana seseorang diingat ketika dia melakukan sesuatu, mengungkapkan segala motivasi, keinginan dan niat-niat yang belum terjangkau sehingga mungkin disesali oleh para pelaku perbuatan. Sejarahlah yang akan mengajarkan bagaimana seseorang bisa merubah sikap lakunya menjadi seseorang yang benar-benar lain dari pada tampaknya yang awal.

“ Bagaimanapun sejarah akan mencatat,
biarkan saja dia mengalir melewati jalannya “

Saya hanya ingin kita secara jujur mengungkapkan motivasi terdalam ketika kita melakukan sesuatu, karena bahkan pada akhir seorang gie juga berkata “ I am not utopis anymore, I am bitter realistic “ dan saya teringat bahkan saya, belum pernah menjadi demonstran. Selanjutnya, biarkan saja mereka yang telah mati muda dalam perjuangan, baik secara fisik maupun ide meninggalkan kita dengan pesan dan kenang masing-masing. Biarkan mereka, karena kita masih ingin tetap menjadi mentari yang selalu setia menyinari untuk melihat mekarnya bunga di pekarangan Indonesia.

Pada akhir ini ijinkan saya merubah sedikit kata-kata gie .

Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan,
Tetapi dibentuk seiring kelahiran
Yang tersial adalah harapan yang tak kunjung kenyataan
Rasa-rasanya memang begitu
Bahagialah mereka yang tak patah ditengah jalan.

- Wallahu Alam -


Minggu, 17 juli 2005

naskah lama yang berjumpa kembali dengan
momen sumpah pemuda

Tuesday, October 17, 2006

Penemuan Jati diri [ a soliloquy ]

Penemuan Jati Diri [a soliloquy]

=====================================================================================================

Penemuan jati diri seorang hamba …….

Tuhan...Siapakah Tuhan...
Apakah Tuhan itu satu?
Ya………………………………………. Tidak……………………
Apa..? Kau gila...!
Tunggu,
bukankah konsep satu ada jauh setelah Tuhan itu ada
Dan bukankah “Satu” hanyalah sebuah konsep
yang terjebak dalam rutinitas ruang dan waktu
Melebihi dari kuasa-Nya

Namun, apakah salah bila aku katakan
bahwa Tuhan itu tidak satu, dua ataupun tiga?
Ya, karena kau berada dan berbahasa
dalam konteks yang terikat dalam ruang dan waktu
Jadi sesuaikanlah dalam batasan ruang dan waktu.
Lalu............

[run_may205]

=====================================================================================================


" Penemuan jati diri seorang Hamba ". kalimat judul sebuah puisi ini betul-betul menarik hati saya untuk berkomentar. bukan karena penulisnya adalah seorang yang telah cukup punya nama dalam konstelasi perpuisian nasional atau karena substansinya betul-betul sesuatu yang teramat penting untuk dikomentari, seperti yang sedang ramai dibicarakan media dalam terminologi terorisme dan dalang-dalang teror saat ini. tetapi hanya karena tema ini kebetulan sedang pas dengan suasana hati saya. Sama seperti anda yang mungkin suka dengan sebuah lagu baru saat ini karena liriknnya pas dengan kondisi kemanan dan ketertiban dalam jagat persemayaman raga anda.

>>/ :

Menemukan jati diri itu bukankah berarti menjadi diri sendiri, memiliki kecendrungan berpikir, bertindak dan berolah pikir sendiri ? Jawabannya ya atau tidak ? Bila jawabannya ya maka saya mungkin setuju bila kita semua tidak pernah menjadi diri sendiri. Toh sikap dan semua kecendrungan berprilaku kita ini warisan kultural, titipan psikologis dari zaman yang melahirkan kita kedunia, sikap dan tindak tanduk kita dibangun oleh kecendrungan pergerakan alam yang membesarkan kita. Maka manusia mungkin tidak pernah merupakan produk orisinil dari dirinya sendiri. Artinya dengan kata lain manusia itu mungkin hanya benda setengah manusia yang dimanusiakan oleh lingkungannya, yang juga berarti pabrik Tuhan hanya menghasilkan produk setengah jadi.

>>/ :

Atau bila jawaban kita tidak, maka mungkin konsep penemuan jati diri yang kita maksudkan itu tidak lain bahwa dengan kata yang lebih mudah kita setuju bahwa menemukan pribadi atau diri sendiri itu tidak ditentukan oleh sarana atau alat yang kita gunakan untuk menemukan diri kita itu, tetapi bagaimana wujud jati diri itu sendiri setelah (kalau bisa) ditemukan. Jadi sarananya bisa saja dengan bantuan orang lain, atau juga mungkin dengan sedikit meniru-niru dulu segala sesuatu, baru kemudian menemukan konsep dan wajah sendiri dalam proses meniru-niru itu.
Nah, kalau ini yang anda setuju, saya kok rasanya juga kepingin setuju dengan pendapat anda. Masalahnya saya ini bingung juga, kalau tidak meniru-niru begitu, dari mana saya ini belajar menjadi manusia saya yang sekarang. Lagipula dulu itu kok rasanya benar kalau saya ini belajar makan dari Orang Tua saya, bahwa makan itu caranya begini, metode dan prosesnya yang sopan lagi efektif seperti ini dan lain-lain, dan lain-lain. semua teori dan praktik makan itu datang dari orang lain yang bukan saya sendiri.
Tapi kalau bahwa perlu makan itu Naluriah saya setuju karena saya tidak pernah belajar untuk lapar, namun perut saya ini seperti sudah dari sananya beroperasi dengan proses kontinyu yang melahirkan rasa lapar itu. Selain itu rasanya berat sekali ikut-ikut menyimpulkan kalau saya ini hanya produk setengah jadinya Tuhan, maka yang paling pas dengan saya saat ini mungkin hanya ikut setuju dengan pendapat itu tadi..

>>/ :

Setelah saya melihat semua teori dan praktek makan itu, saya juga pada akhirnya bisa juga melahirkan teori saya sendiri, saya merevolusi cara makan yang pernah saya pelajari dengan metode yang menurut saya sendiri efektif walaupun menurut orang lain mungkin agak keluar dari pakem. Misalnya saya menemukan cara bahwa makan yang efektif itu bisa sambil berlari kekelas untuk mengikuti kuliah karena sudah terlambat atau makan yang baik itu dirapel dengan segala sesuatu yang serba lebih, misalnya nasi banyak lauk dua atau tiga air melimpah dan lain-lain, dan itu rasa-rasanya metode saya sendiri karena yang jelas memang diluar pakem dan tidak pernah diajarkan oleh orang tua saya, dosen atau apalagi pengasuh.

>>/ :

Karena itu anda jangan jadi tersinggung karena revolusi cara makan saya itu, atau anda jangan nganggap kalau saya mencatut-catut cara makan anda, wong saya ini merasa bahwa kayaknya anda kok yang meniru-niru saya, ikut-ikutan dengan apa yang saya lakukan dulu atau bisa juga anda dan saya yang mungkin punya kecendrungan yang sama.
Tapi lebih dari itu, soal makan ini kan juga cuma contoh saja bahwa dengan meniru pada mulanya saya bisa juga melahirkan metode dan menemukan diri saya sendiri dalam hal makan dan minum. Artinya pada hal lain mungkin juga bisa begitu. Makanya saya berani juga menganggap bahwa hal sama akan terjadi, misalnya saja. ini misalnya saja ya. Sheakspeare itu mungkin ngak pernah mbacai naskah Layla dan Majnun tapi kok ceritanya bisa sedikit-sedikit sama begitu, atau contoh yang lebih lokallah pada cerita tenggelamnya Kapal Van Der wijk nya Buya Hamka, kok rasa-rasanya sama dengan sebuah cerita Arab. artinya keduanya mungkin saja meniru-niru dulu, tapi bukankah semua orang pada mulanya cuma meniru-niru saja orang lain , sama seperti urusan cara makan dan minum saya itu.

>>/ :

Shakspeare dengan Romeo dan Julietnya (katanya) dianggap meniru-niru Layla dan majnun tapi, bukankah Sheakspeare yang dimegahkan dunia sebagai sastrawan besar itu tokh kemudian tidak menjadi pribadi yang sama dengan Syaikh Nizam penulis cerita Layla dan Majnun. Shakspeare menjadi dirinya sendiri, dengan kecendrungannya sendiri, serta mungkin juga dengan revolusi cara berceritanya sendiri yang sangat berrbeda dengan semangat bertutur dan nilai yang ditawarkan Syaikh Nizam dalam karya-karyanya. Dan kalaupun tidak mau setuju dengan pendapat ini, saya masih punya satu pendapat lagi bahwa bisa jadi ini semua karena manusia mungkin punya kecendrungan-kecendrungan yang sama.
Sama seperti anda yang juga menemukan cara makan yang efektif dan banyak seperti yang juga saya lakukan. Artinya saya mungkin ingin bilang bahwa terkadang manusia yang lahir dari rahim yang berbeda, latarbelakang dan proses kejadian yang berbeda. Ada yang dirumah mewah atau dikolong jembatan ini sedikit-sedikit juga punya keseragam-an tertentu dalam pola pikir, sehingga mungkin juga bisa jadi bahwa proses kesamaan ini tidak berhenti pada reaksi alamiah yang itu saja tetapi juga menjadi, bahwa manusia ini juga (mungkin) saja punya jati diri yang sama

>>/ :

Artinya ada lebih dari sedikit pribadi-pribadi dengan kecendrungan yang sama dalam dunia ini, dus juga artinya jati diri saya ini juga mungkin sama dengan orang lain, yang mungkin juga jati diri anda

>>/ :

" Tapi kok rasa-rasanya benar, ya kalau manusia itu dibangun oleh nilai-nilai yang ada diluar dirinya, bahwa saya itu nggak bisa hidup sendiri, bahwa diri saya itu hanya produk kondisi, situasi dan faktor-faktor diluar diri saya sendiri, ibu saya, teman sekolah, guru, pacar, bacaan yang saya baca, film yang saya tontoni, musik yang saya dengar dan jangan lupa agama yang saya anut serta banyak lagi faktor-faktor X yang lain. yang mengiyakan bahwa saya tidak menciptakan pribadi saya sendiri. Tapi bukankah itu wajar juga. bukankah bukan prosesnya saja yang penting tapi lebih dari itu adalah bagaimana akhirnya.

>>/ :

Segala sesuatu yang dibentuk pun tidak pernah sangat sama dengan apa yang digunakan sebagai perbandingan untuk mengukur dan menemukan diri sendiri. Nah perbedaan yang sedikit itulah diri anda, penemuan jati diri anda. Toh apa yang anda temukan mungkin juga sama dengan penemuan jati diri yang dilakukan orang lain. karena kita dibekali akal yang sama untuk berpikir, bahan baku yang sama untuk diolah, permasalahan-permasalahan alamiah (Sunatullah) yang serupa untuk disikapi untuk melahirkan sebuah bentuk penyelesaian baru, sebuah jati diri yang berbeda dalam penyelesaian masalah. walaupun mungkin perbedaanya itu cuma sepersekian juta milimeter persegi dari bangunan jati diri yang kelihatannya sama itu. Tapi kan tetap saja berbeda dan mesti, tetap merupakan sebuah Revolusi.

>>/ :

Kalau begitu,… Lho, Sekarang kok jadi saya yang bingung, sendiri !!!. Terus apa sih penemuan jati diri itu ?. Anda ini kok belum ngerti-ngerti juga kalau saya ngomong seperti ini, karena saya belum juga menemukan diri saya sendiri. saya ngomong begini ini cuma karena pengen membela diri saja, bikin alasan yang sedikit-sedikit bisa masuk akal orang karena ada yang bilang kalau tulisan saya ini, "ya" tulisan yang sekarang anda baca ini gayanya sama dengan gaya mh, padahal saya cuma pingin tulisan saya menghasilkan efek psikologis seperti yang diakibatkan oleh tulisan orang itu terhadap saya.
Saya cuma kepingin menjelaskan sesuatu yang menarik keriuhan akal saya dengan metode yang sudah jelas saya rasakan akibatnya secara langsung. eh kok ada yang bilang kalau saya ini tidak menjadi diri saya sendiri. memangnya orang yang bilang itu juga sudah menemukan dirinya sendiri dan lalu pernah hilang dimana dirinya hingga pake mesti ditemukan segala dan memangnya diri saya ini pernah hilang dimana juga hingga saya mesti mencari-cari jati diri saya sendiri. Makanya saya lebih senang kalau judul puisi teman yang saya kagumi itu bukan penemuan jati diri seorang Hamba tetapi " menjadi hamba yang menjadi dirinya sendiri " sehingga saya tidak perlu repot-repot bikin segala macam alasan pembenaran untuk teori saya sendiri.

>>/ :

Tentang menemukan diri dan menjadi diri sendiri itu, kalau bisa maka sekarang ini saya ingin menyarankan supaya anda tidak ikut pusing-pusing mikir soal jati diri seperti saya ini. saya jamin anda pasti ikutan bingung. Makanya itu, daripada anda bingung, kan lebih baik kalau anda setuju dengan saya (toh selama ini kan saya selalu setuju dengan anda) bahwa kalaupun kecendrungan sikap kita, tulisan kita, cara berpikir kita dan semuanya sama dengan orang lain toh itu berarti kita sudah menemukaan diri kita sendiri, setidaknya kita menemukan diri kita sebagai orang yang ikut-ikutan dengan sikap, cara berpikir dan bertindak orang lain. sampai disitu maka kita tak perlu lagi ribut-ribut berdebat apakah kita sudah menjadi diri kita sendiri atau belum. lagipula apa benar kita bisa menjadi diri kita sendiri kalau sampai sekarang saja saya sendiri belum pernah menjumpai sesuatu yang namanya diri saya itu, tidak kenal dengan diri saya itu sendiri, atau dengan kata lain belum menjumpai diri saya itu atau dengan kata lain lagi belum menemukan diri saya sendiri itu.

>>/ :

Nah kan sekarang saya bikin bingung lagi !!!!.
makanya sudah ngak usah lagi kita ngomong-ngomong mengenai persoalan yang satu ini. bikin pusing, seperti benang kusut, yang kalau coba kita tarik semakin kusut lebih daripada permulaannya.

>>/ :

" akh… ini mungkin saja karena jati diri itu ".
Shut Up kan sudah saya bilang ngak usah lagi ngomong soal itu. Sok mau ikut-ikutan seperti saya kamu !!!.
Saya bentak kawan saya itu.


M Burhanudin B / @134 sudah lama sekali

untuk kamu yang sedang mencari. Terima kasih untuk terus mengingatkan
bahwa kita semua memang masih sama-sama dalam proses
yang kita tidak tahu akan berujung kemana. semoga selamat sampai tujuan

Tuesday, October 10, 2006

pegawai kelurahan [ apa coba ? ]


Pegawai Kelurahan [ Apa coba ? ]

Kalo ada yang nanya sama kamu Pegawai apa yang paling sering ada dalam sinetron-sinetron Indonesia horror, drama maupun dendam-dendaman dan intrik-intrikan ga jelas, jawabannya pasti pegawai kelurahan.

Kenapa pegawai kelurahan ? saya juga ga tau tepatnya kenapa. Yang jelas itu menandakan kalo pegawai kelurahan memang paling TOP Bgt se Indonesia. Bayangin aja dari sekian juta PNS [ katanya > 8 juta ] yang ada di Indonesia, Cuma pegawai kelurahanlah yang paling sering ada dalam scenario-skenario sinetron. Itu artinya secara praktis para sutradara memang telah bisa menilai dan menghormati kepiawaian para pegawai kelurahan dalam soal acting mengakting. [ ini walaupun pada akhirnya yang jadi pegawai kelurahan di sinetron bukan pegawai kelurahan beneran ; hopefully someday it will be ] dan juga artinya para pegawai kelurahan punya keunggulan komparatif untuk lebih sukses dalam dunia sinetron, pengartisan, pokoknya dunia hiburanlah dibandingkan PNS-2 yang lain. Lho kok bisa pembenarannya jadi kayak gitu ?
Tentu saja bisa, buktinya liat aja dekat-dekat [dekat bgt bahkan].

Aniwei itu Cuma prolog kok, bahkan sekedar pingin main-main aja sih.

The truth is, gue cerita kayak gini itu cuman karena ngeh aja, kenapa sering banget pegawai kelurahan itu jadi korban pengdiskreditan dan stereotip birokrasi yang jelek dalam produk-produk media massa yang dikonsumsi sama public, ya misalnya sinetron itu tadi bandingannya mungkin cuma Polisi Lalu lintas saja kali….
Gue ngerti kalo produk hiburan public itu biasanya cerminan dari kondisi yang ada dimasyarakat dan bahwa banyak kejelakan yang dimiliki pegawai kelurahan gue juga ga membantah, tapi kok jadinya cuma pegawai kelurahan yang distereotipkan sebagai icon PNS yang malas, ga ada kerjaan dan ga becus menangani persoalan-persoalan dimasyarakat bahkan yang paling parah moral pegawai kelurahan juga diidentikan dengan moral penilep uang masyarakat dalam sinetron-sinetron kita. Padahal kan kalo mau ditelisik lebih jauh dikit, PNS yang lain dalam badan-badan birokrasi yang lebih besar kan justru punya prestasi memalukan yang lebih gede lagi dari pada pegawai kelurahan. Kita bisa bilanglah bahwa prestasi jelek dan ga jelek itu kan hampir berbanding lurus sebenarnya dengan besarnya sebuah lembaga.

Examplenya mudah banget. Antara Winnie the pooh sama Duffy duck kan pasti winnie the pooh makannya lebih banyak [ hubungannya apa sebenarnya ? gw jg bingung. Artiin aja ya ndiri  ]

Nah dari contoh yang segiitu aja sebenarnya gw udah bisa protes habis-habisan sama penulis-penulis skenario itu. Walaupun pegawai kelurahan memang contoh yang paling dekat dan paling sering berhubungan sama para penulis skenario dan sutradara-sutradara yang minta ijin syuting dikampung, kan tetap aja mustinya para sutradara dan penulis skenario itu bisa melakukan OBSERVASI yang lebih melebar dan mendalam [ istilah MLM] serta lebih akurat lagi untuk memberi contoh PNS-2 yang ga bener. Jangan cuman akhirnya pegawai kelurahan yang dikorbankan dari sekian juta PNS indonesia yang ga bener. Jangan dong…….

Sutradara sama penulis-penulis skenario itu mestinya tahu kalo jadi pegawai kelurahan itu sebenarnya peran watak yang susah banget ngjalaninnya. Apalagi kalo kita udah terbiasa ngelakuin sesuatu hal, dinamis dan ga mau statis. Mereka juga msutinya sadar bahwa jadi pegawai kelurahan itu tekanannya berat banget. Jadi PNS aja tekanannya udah berat dan sering disterotipin macam-macam. Apalagi jadi pegawai kelurahan. Maka itu gue Cuma pingin menghimbau… tolong ya jangan nambah-nambah beban psikologis orang yang jadi pegawai kelurahan.

Karena itu gw jadi pingin menghimbau orang-orang kalo ga semua pegawai kelurahan itu sebenarnya jelek, buktinya gw adalah pegawai kelurahan yang baik hati, rajin menabung, suka menolong dan temenan sama dian sastro [in my day dream aja kali ], terus orang-orang juga mesti ngerti kalo akibat pembagian beban kerja yang ga merata dalam birokrasilah yang bikin pegawai negri [ bukan hanya pegawai kelurahan lho ] itu banyak santainya, lalu jadi malas dan akhirnya ga efektif kerjaannya. Penilaian hasil kerja, kualitas kerja dan prestasinya juga ga jelas makanya bikin orang-orang itu jadi ele-elean [ istilah tentara sama kayak dikampus dulu ]. Karena itu perubahan kondisi itu mustinya justri dimulai dari atas, dengan segala kebijakan yang memberdayakan PNS dan utamanya kelurahan.
Makanya kalo pingin ikut merubah suasana birokrasi di Indonesia, kontribusinya sebaiknya juga yang positif dong, jangan justru nambah-nambahin beban para pegawai kelurahan dong dengan segala pengsterotipan yang ga adil itu.
Gw bisa bilang kalo kayak gini maka yang terjadi itu sebenarnya adalah proses destrukturisasi massal masyarakat dan peradaban. Itu kelakuan anarkis, bahkan agak nihilis sebenarnya. Coba aja bayangin kalo hasil ini semua adalah orang-orang ga mau lagi jadi aparat kelurahan. Bukannya nanti proses pelayanan di masyarakat tambah berabe lagi dan yang rugi juga nantinya para sutradara dan penulis skenario karena mereka juga jadi ga punya icon buat dijadiin contoh pegawai negeri..

Hallllllaaaaahhhhhhhhhh lu boleh aja bilang kalo ini proses pembelaan diri dan memang iya, ini proses pembelaan diri. Kalo bukan kita yang membela diri kita sendiri siapa lagi coba. And least but not least gw juga pingin bilang kalo berkarya itu bisa dimana aja dan bahkan dari lumpurpun lahir teratai yang indah.

Entah bingung, entah apa setelah lihat sinetron di TV
M burhanudin september 2006